Ini adalah tulisan yang terinspirasi
dari sebuah film seri asal India, Baal Veer. Sebenarnya tidak begitu suka dengan
alur cerita dalam film ini. Ada beberapa hal dalam film ini yang dapat mempengaruhi
cara berfikir anak kecil. Cerita peri-perian gitu…. Untungnya saya bukan anak
kecil #eh jadi ga terpengaruh, Cuma kebawa aja (sama ajah yah). Melihat film
ini lebih saya pilih, daripada nonton gosip artis atau berita. Entahlah
akhir-akhir ini tidak suka saja dengan pemberitaan di media.
Sambil meneruskan aktivitas
mingguan sebagai Inem, ada sebuah cerita menarik di episode kali ini (ga tau
ini episode berapa). Setting tempat pembuka episode ini adalah ruang tamu rumah
Meher dan Manaf. Di sana Meher dan Manaf sedang belajar untuk mempersiapkan
ujian akhir. Kemudian datanglah ibunya membawa susu kunyit (penasaran rasanya,
ada yang mau membuatkan?). Dengan semangat Meher dan Manaf meminumnya. Sesaat
kemudian ayah Meher dan Manaf datang dengan membawa oleh-oleh berupa kotak
pensil.
Ayah mereka berkata, “Kalian mau ujian
akhir kan? Pasti membutuhkan kotak pensil ini”.
Ibu mereka kemudian menyahut dengan semangat,
“Pada ujian kali ini kalian pasti akan mendapatkan nilai terbaik, 95.”
“Kau salah…,” jawab ayah
“Pada ujian kemarin mereka
mendapatkan nilai 90 dan menjadi yang terbaik kalau sekarang naik jadi 95 pasti
meraka akan menjadi yang terbaik lagi,” sahut ibu
“Kau salah, Istriku….” Kata ayah
dengan lembut.
“Kalau begitu nilai mereka pada
ujian ini adalah 97.”
“Kau juga masih salah..”
“Lalu berapa seharusnya nilai
mereka agar mendapatkan yang terbaik?” Tanya sang istri dengan penuh
kebingungan dan penasaran.
“Kau salah dengan membebani
mereka untuk menjadi yang terbaik. Mereka belajar bukan untuk mendapatkan nilai
terbaik, tetapi untuk menambah pengetahuan. Jika kita meminta mereka
mendapatkan nilai terbaik maka, mereka bisa saja melakukan perbuatan tidak
terpuji untuk mendapatkannya. Ujian akhir itu dimaksudkan agar guru dapat
mengevaluasi hasil belajar mereka. Dengan hasil tersbut guru akan mengetahui
dimanakah letak kekurangan dari setiap muridnya. Lalu guru tersebut akan
membantu siswa mengatasi kekurangan tersebut. Jadi jangan bebani mereka untuk
mendapakan nilai terbaik.”
Awalnya saya ingin memindah
saluran dan menonton iklan, tetapi setelah mendengar dialog ini tidak jadi pindah
saluran. Sambil menghaluskan pakaian dengan mesin pemanas, saya berfikir mungkin
ini salah satu penyebab maraknya
kecurangan di kalangan pelajar. Pembebanan dari guru, orang tua, atau
lingkungan sekitar tentang hasil dari sebuah ujian.
Proses belajar hendaknya dipahami
sebagai upaya menambah pengetahuan bukan untuk menjadi yang terbaik dari
temannya. Seringkali ujian digunakan sebagai parameter untuk menentukan kasta
kecerdasan. Hanya membayangkan pelajar kita berlomba-lomba untuk menjadi orang
yang lebih berpengetahuan dibandingkan dengan teman lainnya.
Ya… ujian pada hakikatnya merupakan
akumulasi akhir dari pemahaman yang dimiliki. Em… PR juga untuk para guru untuk
membuat alat evaluasi yang tepat agar alat tersebut menggambarkan pengetahuan
yang dimiliki oleh siswa. Misalnya mereka mendapatkan nilai 80 itu artinya pengetahuan yang mereka miliki adalah 80% dari jumlah total pengetahuan yang
seharusnya mereka kuasai.
Nilai ujian tidak selamanya
menggambarkan seberapa banyak pengetahuan yang dipunyai. Semua bergantung pada
proses seseorang mendapat nilai tersebut. So…bersemangatlah belajar, tetap
jujur mengerjakan ujian. Indonesia membutuhkan generasi dengan banyak
pengetahuan, bukan sekedar angka di atas selembar kertas ujian.