"Di Sragen itu bagus program penuntasan kemiskinannya, di sana ada sekretariat Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan. Jadi, segala bantuan untuk orang miskin itu satu pintu. Misal mau mengajukan rehab rumah tidak layak huni, jaminan kesehatan dan sebagainya masyarakat cukup pergi ke sekretariat itu saja. Pun, ketika swasta atau ada lembaga yang ingin menyalurkan bantuan semuanya melalui sekretariat tersebut. Selain itu, pemerintah daerah juga sudah mengeluarkan 3(tiga) kartu kemiskinan, melati, menur, dan kenanga. Ini yang menarik, masing masing kartu tersebut mempunyai singkatan. MELATI (melarat teman iki), jadi yang mendapatkan kartu ini adalah orang-orang yang kemiskinannya terdaftar oleh pemerintah, maksudnya yang masuk data PPLS. MENUR (menurut pak RT, menurut pak RW, menurut Pak Lurah), yang mendapatkan kartu ini merupakan warga yang tidak mampu menurut perangkat desa tetapi tidak terdaftar. KENANGA (kenang-kenangan), tidak bisa kita dipungkiri bahwa ada sebagian dari masyarakat kita yang tiba tiba miskin saat mengalami musibah. Misalnya sakit. Nah, orang yang tidak masuk ke golongan kartu Melati atau Menur tetapi meminta keringanan saat berobat, dia akan mendapatkan kartu Kenanga. Biar jadi kenang-kenangan gitu." Cerita Bu Rina di dalam mobil. Beberapa waktu yang lalu, beliau mengikuti koordinasi penanggulangan kemiskinan di Jakarta. Pada acara tersebut ada paparan dari Bappeda sragen tentang penanggulangan kemiskinan yang dilakukan di daerah tersebut.
Masalah kemiskinan adalah masalah yang cukup rumit penyelesaiannya. Bukan hanya miskin, tetapi masih banyak juga orang orang yang berada di bawah garis kemiskinan. Menjadi PR bersama untuk mengurai masalah ini. Secara garis besar, pemerintah melalui Bappenas telah memberikan 7 Indikator utama kemiskinan (1) kurangnya pangan, sandang dan perumahan yang tidak layak; (2) terbatasnya kepemilikan tanah dan alat-alat produktif; (3) kuranya kemampuan membaca dan menulis; (4) kurangnya jaminan dan kesejahteraan hidup; (5) kerentanan dan keterpurukan dalam bidang sosial dan ekonomi; (6) ketakberdayaan atau daya tawar yang rendah; (7) akses terhadap ilmu.
Dari ke tujuh indikator tersebut, seharusnya ada tujuh program yang dimiliki untuk mengentaskan kemiskinan. Tidak fair rasanya, jika kita harus mengakumulasi jumlah dari masing masing indikator tersebut untuk menilai derajat kemiskinan. Misalnya gini, ada seorang janda yang mengalami kelainan pada matanya, punya anak yang masih kecil, tidak mempunyai pekerjaan tetap tetapi dia tidak mendapatkan akses bantuan hanya karena rumah yang ditinggali sudah permanen. Padahal, rumah itu adalah rumah warisan dari orang tuanya. Secara kondisi rumah memang sudah layak tetapi jaminan kesejahteraan hidupnya kan masih dalam tanda tanya.
Menurut saya (penggemar kartu Menur hihi), harus ada catatan yang jelas dari pemerintah mengenai kondisi dari seluruh masyarakat. Jika dia termasuk warga miskin itu karena indikator apa, lalu bagaimana riwayat kehidupannya, aru kemudian ditentukan bantuan seperti apa yang akan diberikan. Dan masyarakat pun harus jujur dengan kondisi dirinya. Tidak mengaku miskin saat ada kabar pendataan orang miskin yang akan mendapatkan bantuan. Orang-orang kayak gini butuh Revolusi Mental kayaknya (eaaa...). Selalu tertarik dengan statement dari dosen UNY, hanya Tuhan yang tahu data tervalid di Indonesia.
Banyak program yang sudah dilakukan untuk menurunkan angka kemiskinan tetapi jumlah orang miskin di negeri ini tetap saja banyak. Tidak melulu karena program bantuan itu salah sasaran, tetapi bisa juga orang yang miskin menjadi kaya dan orang kaya menjadi miskin.
Banyak program yang sudah dilakukan untuk menurunkan angka kemiskinan tetapi jumlah orang miskin di negeri ini tetap saja banyak. Tidak melulu karena program bantuan itu salah sasaran, tetapi bisa juga orang yang miskin menjadi kaya dan orang kaya menjadi miskin.
instania