Sumbing Jaman Doeloe |
2.1.1.1.
Masa
Mataram Kuno (Hindu) (732 M-1700 M)
Sumber sejarah menyatakan bahwa
Temanggung telah ada sebelum Perang Diponegoro dan munculnya Dinasti Mataram Islam, bahkan lebih
jauh dari itu. Pada jaman Mataram Kuno sekitar pertengahan abad IX, nama daerah
ini telah tercatat dalam peta sejarah seperti tertuang dalam prasasti kuno(Prasasti
Wanua Tengah yang ditemukan di Desa Gandulan Kaloran tahun 1984). Selain itu, prasasti Wanua
Tengah juga memuat perubahan status tanah di Desa Wanua Tengah (dimungkinkan
desa itu ini bernama Wanua Tengah, Kecamatan Bulu) yang dinyatakan sebagai tanah sima
yang mendapat kebebasan pajak sebagai persembahan kepada Bhiara Pikatan oleh Rakai
Panangkaran.Bhiara tersebut didirikan oleh ayahnya bernama Rahyangta I Naga
adik Rahyangta Midang yang dikenal sebagai Sanjaya.Di deretan nama-nama raja
Mataram Kuno tersebut bisa ditarik kesimpulan jika Rakai Pikatan Dyah Seladu
(546) memimpin Bhiara tersebut.Hal tersebut didukung olehnama gelarnya Rakai
Pikatan yang disebut dalam prasasti Wanua Tengah mempunyai kesamaan dengan nama
tempat Pikatan.Yang kini ada darah tersebut berjarak sekitar 3 km dari pusat
kota Temanggung.
Pengganti raja Sanjaya adalah
Rakai Panangkaran yang naik tahta pada tanggal 27 November 746 M dan bertahta
selama kurang lebih 38 tahun. Dalam legenda Angling Dharma, keraton diperkirakan
berada di daerah Kedu (Desa Bojonegoro).Di desa ini ditemukan peninggalan
berupa reruntuhan. Di wilayah Kedu juga ditemukan Desa Kademangan.Pengganti Rakai
Panangkaran adalah Rakai Panunggalan yang naik tahta pada tanggal 1 April 784
dan berakhir pada tanggal 28 Maret 803.Rakai Panunggalan bertahta di Panaraban
yang sekarang merupakan wilayah Parakan.Selanjutnya Rakai
Panunggalan digantikan oleh Rakai Warak yang bertahta di Tembarak.Di sekitar
masjid Menggoro dan Desa Kademangan ditemukan reruntuhan candi.Pengganti
Rakai Warak adalah Rakai Garung yang bertahta pada tanggal 24 Januari 828 – 22
Februari 847.Kemudian Rakai Garung diganti Rakai Pikatan yang bermukim di
Temanggung.
Dalam buku I Wayan Badrika
menyebutkan, kata Temanggung diawali dari sosok Rakai Pikatan selaku raja
Mataram Kuno yang berkeinginan menguasai wilayah Jawa Tengah dan merebut
kekuasaan raja Bala Putra Dewa selaku penguasa kerajaan Syailendra. Untuk mencapai
keinginannya tersebut, Rakai Pikatan membuat strategi dengan menikahi Dyah
Pramodhawardhani, kakak raja Balaputradewa dengan maksud mempunyai pengaruh
kuat di kerajaan Syailendra.Setelah Rakai Pikatan berhasil menjadi keluarga
kerajaan Syailendra, dia kemudian menghimpun kekuatan dengan mengumpulkan
prajurit dan senopati serta memungut upeti dari para demang.Kemudian dia
melakukan penyerangan dengan bantuan putranya, Kayu Wangi.Selama Rakai
Pikatan melakukan penyerangan urusan kerajaan diserahkan kepada orang
kepercayaannya yang berpangkat demang. Dari nama demang dan wilayah kademangan
kemudian muncul nama Ndemanggung yang akhirnya berubah menjadi nama Temanggung.
Menurut Nugroho Notosusanto, pada masa Mataram Kuno Parakan merupakan tanah sima atau tanah hibah atau tanah perdikan. Hal ini dapat terungkap melalui
prasasti Gondosuli. Prasasti Gondosuli ditulis dalam dua bahasa, bahasa Sansekerta dan bahasa Jawa Kuno.Tulisan yang menggunakan
bahasa Sansekerta berisi keterangan tentang raja Samaratungga,
Permata wangsa Syailendra, dan anak perempuannya yang bernama
Pramodhawardhani. Dijelaskan bahwa putri ini mendirikan Srimad Wenuwana (tempat
suci agama Budha). Sedangkan tulisan yang menggunakan bahasa Jawa Kuno menjelaskan
mengenai pemberian tanah sima untuk membangun tempat suci tersebut. Menurut
Poerbatjaraka Srimad Wenuwana bisa jadi merupakan candi Borobudur, sedangkan
tanah sima yang dimaksud terdapat di wilayah Parakan. Menurutnya tanah
sima tersebut merupakan angsa (tanah sima yang letaknya jauh dari candi yang
dimaksud). Akan tetapi ada pendapat lain yang menyatakan Srimad Wenuwana tersebut seharusnya ada di Parakan, dibutuhkan penelitian lebih lanjut jika benar srimad wenuwana tersebut di daerah Parakan. Karena itu artinya, ada candi di daerah Parakan.
Penemuan situs Liyangan semakin menguatkan
sekaligus membuktikan penting dan utamanya kawasan timur Sumbing-Sindoro ini. Keberadaan
situs Liyangan sangat kompleks, bukan hanya percandian tetapi benar-benar
pemukiman di skala kota. Kuat dugaan wilayah tersebut sempat hilang karena
letusan gunung Sindoro pada abad IX. Dalam Prasasti Wanua I Rukan di desa
Petarongan Kecamatan Parakan menceritakan tentang sebuah desa yang hilang
akibat letusan gunung Sindoro. Kemudian penduduk dipindahkan ke tanah perdikan. Ada beberapa sumber yang menyebutkan
bahwa desa yang dimaksud tersebut adalah Liyangan.
Salah satu sumber sejarah menyebutkan bahwa asal
mula nama Parakan dari kata Para Rakai, konon pada jaman Mataram Kuno di
daerah ini banyak para Rakai. Parakan menjadi pusat Kota Sima yang
pendetanya paling disucikan. Pada masa ini,setelah umat Hindu melakukan ritual
di gunung Dieng akan singgah ke Parakan dan meminta
petunjuk kepada Rakai yang ada di Parakan.
2.1.1.2.
Masa
Mataram Islam (1600-1800)
Setelah surutnya kerajaan Mataram Kuno dalam waktu
cukup lama tidak ada catatan sejarah yang mengungkapkan daerah Temanggung. Baru
pada masa akhir kerajaan Demak terdapat kisah mengenai tlatah ini, menurut peta
pada masa itu bumi Temanggung termasuk wilyah Kedu.Dengan mengutip keterangan
Reffles sebelum Pangeran Trenggono meninggal, raja Islam pertama di tanah Jawa
itu telah membagi kerajaanmenjadi beberapa kesultanan yang kemudian diberikan kepada
anak-anaknya.
Putra tertua Sultan Prawoto memperoleh tanah gabungan
di daerah Timur sepanjang sungai Solo hingga Surabaya. Sedangkan menantunya
Pangeran Hadiri, yang dikenaldengan Sunan Kalinyamat diberi daerah sepanjang
pantai utara.Sementara Raden Panji mendapat bagian daerah Pajang yang kemudian
tumbuh menjadi Mataram Islam.Wilayah Temanggung dan Bagelen ketika itu menjadi
bagian dan kekuasaan putra lelakinya yang lain yaitu, Ario Mas Timur.
Catatan sejarah lebih lanjut muncul dari kesultanan
Pajang, sebagaimana tertulis dalam naskah koleksi Universitas Leiden terjadinya Kota Kendal dan Parakan
(salah satunama kecamatan di Temanggung). Dalam naskah itu dituturkan kepergian
putra Sultan Pajang bernama Pangeran Benowo yang meninggalkan kesultanan karena
sakit hati. Dalam pengembaraannya itu Pangeran Benowo disertai 4 orang abdinya,
sampai di sebuah hutan yang bernama Kedal.
Dalam pengembaraan selanjutnya menurut naskah itu,
Pangeran Benowo sampai di sebuah tempat yang subur di pinggir kali kemudian
mendirikan perkampungan di tempat tersebut. Tidak lama setelah Pangeran Benowo bermukim, banyak orang yang marak
(datang)untuk ikut bermukim, sehingga menjadi sebuah desa yang kemudian diberi
nama Parakan
(berasal dari kata marak).Sedangkan Pangeran Benowo sendiri dijunjung
derajadnya dan dinobatkan sebagai Susuhunan Parakan. Masyarakat Parakan
juga memanggilnya dengan sebutan Kyai Parak.
Pada masa Sultan Agung memimpin Mataram Islam (1613-1645),
wilayah Mataram dibagi menjadi Wilayah Pusat dan Wilayah Mancanegara. Di
wilayah pusat ini dibagi menjadi dua daerah yaitu: Kutanegara (pusat kerajaan)
dan Negara Agung. Menurut serat Pustaka Raja Purwa,Negara Agung dibagi menjadi
beberapa wilayah yaitu daerah Kedu, Siti Ageng atau Bumi Gede,
Bagelen dan Pajang. Pada jaman pemerintahan Sultan Agung, masing-masing daerah dibagi menjadi
dua :
a)
Untuk daerah Kedu dibagi menjadi Siti Bumi (pusat
di Jetis Parakan) yang di sebelah barat sungai Progo dan Bumijo(Pusat
di Magelang) yang terletak disebelah timur sungai Progo. Jadi, pada jaman
dahulu sebagian wilayah Temanggung masuk dalam wilayah Bumijo dan sebagian yang
lain masuk Siti Bumi. Secara administratif daerah Siti Bumi dan Bumijo dipimpin
oleh seorang pejabat yang berpangkat Wedono dan Pejabat berpangkat Kliwon.
b)
Daerah Siti Ageng, dibagi lagi menjadi
daerah Siti Ageng Kiwadan Siti Ageng Tengen.
c)
Daerah Bagelen, dibagi menjadi
daerah Sewu yang terletak diantara sungai Bogowonto dan Sungai Donan
di Cilacap. Daerah Numbak Anyar diantara sungai Bogowonto dan sungai Progo
d)
Daerah Pajang, dibagi menjadi Panumpin yang
meliputi daerah Sukowati dan daerah Panekar yaitu di Pajang.
Pada pertengahan abad ke-16 tembakau telah masuk ke
Cina, Jepang, dan Indonesia. Tembakau pertama kali masuk ke Jawa sekitar tahun
1600 oleh orang-orang Portugis. Hal ini dikemukakan oleh botanis de Candolle
seperti dikutip Van Der Reijden (1931). Sebutan tembakau, mbako, atau bako yang
biasa digunakan di Jawa lebih sesuai dengan istilah tobacco atau tumbacco dalam
bahasa Portugis. Asal-usulnya tidak tercatat dengan baik, tetapi benihnya
diduga berasal dari Meksiko, dibawa ke Filipina melalui Lautan Pasifik kemudian
menybar ke seluruh Asia. Pada tahun 1609 orang-orang Spanyol mulai menanam
tembakau di pulau Jawa (Comes dalam Hamid). Pada tahun 1650 tanaman tembakau
telah ditanam oleh rakyat di berbagai tempat terutama di Karisidenan Kedu.
Pada tahun 1700 Mataram Islam mulai surut. Pada
masa ini bangsa Cina Mulai datang ke Parakan. Salah satu dari 3 orang
pelarian Cina bernama Lauw Djing Tie menetap dan mengembangkan perguruan Shaolin. Pusat perguruan Shaolin sekaligus konsentrasi pemukiman warga
Tionghoa ada di Gambiran atau di Sebo Karang.Pada masa itu, Lauw Djing Tie
bersaing dengan pendekar lokal Kauman.Mereka sempat bertarung untuk membuktikan
kedigdayaan masing-masing. Pendekar Shaolin
ini akhirnya kalah, kemudian masyarakat Tionghoa di sana mulai belajar hidup berdampingan rukun
dengan masyarakat pribumi. Pemikiran masyarakat pribumi pada akhirnya juga terpengaruh dengan banyaknya masyarakat
Tionghoa di sana. Masyarakat pribumi menjadi lebih
terbuka dengan kebudayaan dari luar dan lebih berpikiran luas untuk belajar
dari orang lain.
Para pendatang Cina sudah lama masuk dan singgah di
kawasan pesisir utara Pulau Jawa, mereka masuk kepedalaman hanya untuk
mengumpulkan mata dagangan atau mengelilingkannya. Baru pada pertengahan abad
ke-18 mulai banyak orang Cina yang masuk ke pedalaman Pulau Jawa. Awalnya
akibat peristiwa Geger Pacina dan perang-perang perebutan kekuasaan di Mataram
yang membuat banyak dari mereka terpaksa berdiam di pedalaman karena kesulitan
untuk kembali ke pantai.
Pada awal abad ke-19 mereka sudah membentuk
pemukiman di Parakan dan Jetis, yang waktu itu masih menjadi keletakan
Kadipaten Menoreh. Jumlah mereka antara 2-3000 jiwa dan hidup dari berdagang
karena memang tidak diizinkan memiliki tanah oleh Pemerintah Jajahan.
Kebanyakan mereka masuk dari pelabuhan Pekalongan, melintasi Dataran Tinggi
Dieng dan masuk ke Kedu. Baru pertengahan abad ke-19 Semarang menjadi pintu
masuk terpenting. Adalah Perang Jawa yang menata kembali komposisi masyarakat
Cina di Parakan. Rupanya waktu itu Parakan menerima banyak pengungsi dari
tempat lain, terutama dari Jana, Kutoarjo, yang tidak kembali lagi sesudah
mengungsi. Sebelum tahun 1932, golongan Cina dikepalai dan diurus oleh Lurahnya
sendiri (Chineesche officieren), kecuali untuk masalah kriminal berat.
Pada masa kerajaan Mataram Kuno dan Mataram Islam
ini, masyarakatnya begitu mengabdi kepada sang raja yang bertahta. Bangunan
yang masih ada sebatas perumahan tradisional dengan denah yang sederhana dan
dinding kebanyakan dari anyaman bambu (gedhek,
bahasa Jawa) dengan atap limasan atau pelana (dara sepak). Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat
melakukan aktivitas ekonomi di pasar Krempyeng yang buka mulai jam 06.00 –
10.00. Pasar Krempyeng ini menempati bagian kosong dari kawasan Pecinan.
Kehadiran bangsa Cina ke Parakan memberikan
pengaruh secara fisik maupun non fisik.
1.
Pengaruh Fisik
a. Perumahan
/ Hunian
Pada tahun 1700 ada beberapa pendatang yang membuat bangunan rumah tinggal dengan gaya
arsitektur Cina. Berikut nama-nama orang Cina yang membangun rumah dengan
arsitktur Cina:
1)
Tahun 1700: Siek Kian Ing
2)
Tahun 1703: Tiong Tiam Tjing (Tony)
3)
Tahun 1790: GoHong Ging
4)
Tahun 1793: Seik Siang I
b.
Fasilitas Umum
a)
Fasilitas Peribadatan
1. Klenteng
Klenteng sudah ada,
tetapi kondisinya masih sangat sederhana. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat
ibadah orang beragama Budha
2. Masjid
Tidak ada masjid yang
mendapatkan pengaruh Cina dalam arsitekturnya.
3. Gereja.
b)
Fasilitas Pendidikan
c)
Fasilitas Kontak Sosial dan Olah Raga
d)
Fasilitas Perdagangan
1.
Pasar
Pasar Entho merupakan
pasar dengan pusat pasar di mulut gang.
2.
Pertokoan
3.
Warung
e)
Fasilitas Pendukung
1.
Gudang tembakau
2.
Gudang penyimpanan barang dengan toko
2.
Pengaruh Non Fisik
a.
Sosial
Kedatangan Cina di Parakan
memberikan pengaruh cukup besar.
b.
Ekonomi
Sistem perekonomian
di Parakan
mendapatkan pengaruh Cina
c.
Budaya.
2.1.1.3.
Masa
Penjajahan Belanda (1812 – 1942)
Ketika palihan nagari atau perpecahan Mataram terjadi sebagai hasil perjanjian
Giyanti terjadi kekacauan di wilayah Kedu. Hal ini terjadi karena pembagian wilayah Kedu berdasarkan cacah bukan
wilayah. Sejak pertengahan abad ke-18 wilayah ini, terutama
wilayah utara menjadi wilayah tak bertuan. Bahkan menjadi tempat pelarian dan
persembunyian para penjahat dan pemberontak. Ironisnya, kekacauan ini berhenti
saat Kedu dirampas oleh Belanda (1811) dan diperkuat oleh Inggirs (1812). Tahun
1817 barulah dibentuk Karesidenan
Kedu dan pada tahun 1819 Kolonial Belanda membentuk Kadipaten Menoreh dibawah
kepemimpinan Tumenggung Ario Sumodilogo. Kadipaten Menoreh dibagi menjadi 4
distrik yaitu (1) Kadipaten Lempuyangan; (2) Kadipaten Jetis; (3) Kadipaten
Bandongan; dan (4) Kadipaten Menoreh. Pusat pemerintahan Kadipaten Menoreh ada
di Jetis (salah satu wilayah di Parakan). Pusat pemerintahan tidak di
Menoreh karena Menoreh merupakan basis kekuatan Pangeran Diponegoro. Pada jaman
ini Parakan
mendapat julukan sebagai Little China Town. Hal ini disebabkan ada sebuah kawasan Pecinan di wilayah tersebut yang keberadaannya cukup
memberikan pengaruh.
Tahun 1825-1830 terjadi Perang Diponegoro/Perang Jawa. Peperangan ini
terjadi selama lima tahun dan merupakan peperangan paling hebat dalam menentang penjajah Belanda. Dalam peperangan ini delapan ribu serdadu Belanda tewas dan tujuh ribu pribumi gugur. Biaya
yang dikeluarkan Belanda sebesar 20.000.000 gulden,biaya yang cukup
fantastis dan membuat Belanda
harus berhutang untuk membiayai
perang ini. Semangat perlawanan terhadap kolonialisme juga dikobarkan oleh
Pangeran Diponegoro kepada seluruh masyarakat Kedu. Pada hari
Kamis titimongso 5 bulan Haji tahun Be ( 31 Juli 1825 ), Pangeran Diponegoro
mengirimkan surat perintah kepada rakyat Kedu yang berbunyi:
“Inilah soerat dari saja
Kangdjeng Goesti Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkoeboemi di Ngajogjakarta
kepada semua teman saja di Kedoe
Memberitahoekan bahwa negari
Kedoe sekarang telah saja minta
Semoea orang, ja’ni semoea orang
lelaki, perempoean, besar dan ketjil haroeslah mengetahoeinja
Adapoen orang jang telah
mengetahoei surat oendangan saja ini hendaknja dengan segera menjediakan
sendjata agar dapat mereboet negari dan membetoelkan agama Rosoel serta
mereboet toedjoeh iman
Djika ada jang berani dan tidak
maoe mempertjajai boenji soerat saja ini, pasti saja potong lehernja”
Artinya: Inilah surat dari
Kanjeng Gusti Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi di Yogyakarta kepada
semua teman saya di Kedu. Semua orang, yakni semua orang laki-laki, perempuan,
besar dan keci (tidak perlu disebutkan satu persatu) haruslah mengetahuinya. Adapun orang yangtelah mengetahui surat undangan
saya ini hendaknya segera menyediakan
senjata agar dapat merebut negeri dan membetulkan
agama Rasul serta merebut tujuh iman. Jika ada yang berani dan tidak mau
mempercayai bunyi surat ini pasti saya potong lehernya.
Hanya dua bulan setelah Pangeran Diponegoro mengirimkan suratnya, daerah
Kedu telah berubah menjadi ajang peperangan yang ramai. Dalam suratnya
tertanggal 28 Sptember 1825 kepada Jenderal de Kock, Residen Kedu Lo Clerg
antara lain menyatakan bahwa dalam peperangan itu Pos Selatan Karesidenan Kedu,
Kalijengking pada pagi hari diserbu pasukan jumlah besar, dan menewaskan Letnan
Hilmer. Kerangan Sementara itu, ada juga
kemungkinan Bupati Semarang telah menjadi
korban.Magelang
menghadapi bahaya yang sangat besar, oleh karena distrik-distrik di barat dan timur tidak
mungin dipertahankan. Dan benar saja, Bupati Magelang terluka dan tewas dalam pertempuran. Mayatnya
ditemukan bersama sembilan
orang prajurit, Belanda bersenjata bedil, Magelang telah jatuh ke tangan
pengikut Pangeran Diponegoro.
Pengikut Pangeran Diponegoro juga
memperoleh sukes di wilayah Kedu yang lain. Akhirnya, Mayor Du Perron
memutuskan semua pos
disekitar Magelang, yaitu di Parakan, Prapag,
Pucang, Sosongan, Sadegan, Borobudur dan Kalijengking sejauh masih ada ditarik
dan dipusatkan kekuatannya di Magelang.
Sebelum Bupati Magelang –Raden
Tumenggung Danuningrat-
Raden Tumenggung Arya Sumadilogo (Bupati Menoreh) telah mendahului tewas di
medan peperangan. Mengenai tewasnya pejabat ini, Pangeran Diponegoro dalam
Naskah Autobiografinya menuturkan sebagai berikut:
“Ing Kedhu wonte satunggal-Raden Sumadilaga-ing Parakan
negeripun- ingkang tan sedaya guripa,” “Mapan lajeng ing nginggahan saking
Ledhok Gowong Ika-Mas Tumenggung Ondraka-ing Gowong Gajah Premada”. “Ingkang
dadya pangridnya-Mas Rongga Prawirayuda- ing Parakan sampun prapta-nulya
pinethuk ing yuda”.“Sumadilaga kuciwa-mengkana sampun palestra-ingkang mejahi
punika-pademangira priyongga”.
“Sacapati
namanira- wus bedhah Parakan ika-…”
Artinya:
Didaerah Kedu adalah seorang
bernama Raden Sumadilaga.Negerinya berada di Parakan.Raden Sumadilaga lalu
diserang dan daerah Ladok dan Gowong masing-masing oleh Mas Tumenggung Ondraka
dan Gajah Permada.Yang menjadi pemandunya Mas Rongga Prawirayuda. Mereka telah
datang di Parakan, lalu disambut perang. Raden Sumadilaga mengalami kekalahan
dalam peperangannya dan telah tewas. Yang membunuh Demangnya sendiri, Secapati
namanya.
“Negeri Parakan telah jatuh….”
Sumber-sumber lain menyebut nama
pembunuh Bupati Menoreh, Raden Tumenggung Sumadilaga ini Setradipa. Setelah mencapai kemenangannya ini lalu
ia mengangkat
dirinya dengan gelar Tumenggung Kerta Seluman Sumadilaga.
Pertempuran
tersebut merupakan bukti nyata politik Devide et Impera yang
biasa dipraktekkan Belanda untuk menguasai dan mencengkeram daerah
jajahannya.Sampai sekarang alasan Tumenggung Soemodilogo memutuskan untuk
melawan Pangeran Diponegoro masih merupakan misteri karena menurut cerita
rakyat yang beredar diketahui bahwa Tumenggung Soemodilogo dan Pangeran
Diponegoro masih memiliki hubungan darah karena masih sama-sama darah biru
Mataram-Menoreh.
Berdasarkan Surat Keputusan Komisaris Jenderal Hindia
Belanda, Nomor 11 Tanggal 7 April 1826, Raden Ngabehi Djojonegoro ditetapkan
sebagai Bupati Menoreh menggantikan Raden Tumenggung Ario Sumodilogo yang
berkedudukan di Parakan, dengan gelar Raden Tumenggung Ario Djojonegoro.
Setelah perang Diponegoro berakhir, dia kemudian memindahkan Ibu Kota ke
Kabupaten Temanggung. Kebijakan pemindahan ini didasarkan pada beberapa hal;
1)
Adanya pandangan masyarakat Jawa kebanyakan pada saat itu, bahwa Ibu Kota yang pernah
diserang dan diduduki musuh dianggap telah ternoda dan perlu ditinggalkan.
2)
Distrik Menoreh sebuah daerah sebagai asal nama Kabupaten Menoreh, sudah
sejak lama digabung dengan Kabupaten Magelang, sehingga nama Kabupaten Menoreh
sudah tidak tepat lagi.
Mengingat hal tersebut, atas dasar usulan Raden
Tumenggung Aria Djojonegoro, lewat residen Kedu kepada Pemerintah Hindia
Belanda di Batavia, maka disetujui dan ditetapkan bahwa nama Kabupaten Menoreh
berubah menjadi Kabupaten Temanggung. Persetujuan ini berbentuk Resolusi
Pemerintah Hindia Belanda Nomor 4 Tanggal 10 Nopember 1834. Hingga sekarang,
setiap tanggal 10 November dijadikan sebagai hari jadi Kabupaten Temanggung.
Setelah perang Jawa, banyak dari pengikut Diponegoro yang tetap tinggal
di Parakan.
Para pendherek atau pengikut Pangeran Diponegoro lebih sulit dilacak
asal-usulnya karena banyak yang menyembunyikan identitas asli mereka. Mungkin
mereka datang ke Parakan untuk menyembunyikan diri dari pengawasan Pemerintah Jajahan
sambil menunggu waktu dan pemimpin yang lebih baik untuk bergerak kembali.
Beberapa di antara mereka bahkan pada awalnya bentrok dengan penduduk asli,
sehingga terpaksa pindah ke tempat lain. Melalui para pemimpin agama atau kyai,
mereka menjalin jaringan yang sangat luas sepanjang pedalaman Pulau Jawa.
Ciri-ciri pesantren mereka adalah sepasang pohon sawo kecik di depan rumah
kyainya. Sampai sekarang kawasan ini masih dinamai Kauman.
Keberadaan pengikut Diponegoro cukup membuat Belanda khawatir, maka Belanda menjadikan Parakan sebagai pusat
candu agar generasi mudanya rusak dan sulit bergolak menentang Belanda. Parakan dijadikan kota surga candu, wanita tuna susila dan
lain-lain. Pemerintah Belanda menginginkan
kota Parakan sebagai tujuan orang berfoya-foya. Perkebunan tembakau semakin
digenjot oleh pemerintah Hindia Belanda. Hal ini dilakukan untuk menutup
kerugian yang diakibatkan oleh Perang Diponegoro.
Setelah perang usai dan keamanan pulih (menurut Hindia Belanda), Parakan
menjadi pusat kegiatan perdagangan kembali karena kadipaten baru belum siap
infrastrukturnya. Pada masa ini Parakan terbentuk sebagai kota, yaitu tempat
konsentrasi penduduk, kekuasaan dan ekonomi. Masa pasca Perang Jawa Parakan
dibangkitkan kembali oleh beberapa kelompok masyarakat yang berbeda-beda dan
menjelma menjadi pusat kegiatan ekonomi terpenting bagi kawasan Kedu, khususnya
bagian utara yang mulai terjamin keamanan dan ketertibannya.
Pada masa penjajahan Belanda masalah perdagangan di Parakan diserahkan kepada
orang-orang Cina.Tembakau dan cengkih menjadi komoditas utama
perdagangan.Saking majunya perdagangan tembakau dan cengkih, penduduk Parakan
membuat gudang di kapling rumah masing-masing.
Tahun 1880 pemerintah Hindia Belanda membentuk Kawedanan. Di Kabupaten Temanggung
dibagi menjadi 3 (tiga) Kawedanan, yaitu Kawedanan Parakan, Temanggung, dan Candiroto.
Pusat kegiatan berada di sekitar
Kademangan, sekarang menjadi gudang di sisi barat bekas
bioskop Wisnu. Di sekitar tapak inilah terdapat bangunan-bangunan penduduk
elite Parakan masa itu (pejabat dan pedagang). Hal ini tampak dari ukuran petak
(kavling) di antara Kademangan dengan jalan antar kota di baratnya yang
berukuran luas dan besar. Bangunan yang terletak tepat di belakangnya (bakal
Museum Louw Djing Tie) adalah bekas kediaman controleur (perwakilan Residen), sedang di sebelah baratnya, bekas
kediaman Luitenant der Chineezen atau Lurah Tionghoa.
Kademangan ini menghadap ke arah selatan, di depannya adalah cabang
jalan utama. Di sekelilingnya berdiri pertokoan yang membentuk Pecinan dengan
kelenteng di ujung timur jalan. Pasar terletak di sisi barat Kademangan,
sekarang menjadi tanah kosong dan rumah, tepat di depan kediaman Lurah Tionghoa
yang biasanya merangkap sebagai pemegang hak (pachter) menarik cukai pasar. Sampai dasawarsa terakhir abad ke-19,
Jalan Bamburuncing inilah yang disebut Pecinan. Jalan utama (sekarang Jalan
Brigjen Katamso) juga berkembang pesat, kedua sisinya juga menjadi kediaman dan
pertokoan orang Tionghoa. Seperti biasanya, bangunan yang menempel langsung ke
jalan, biasanya rumah atau bangunan milik pedagang kaya. Jalan ini sampai awal
abad ke-20 masih dikenal dengan nama Handelsstraat (Jalan Perniagaan). Wilayah
ini, berbatasan dengan Kampung Klewogan di sisi baratnya, sehingga tidak bisa berkembang
ke arah itu. Jalan Diponegoro (sekarang) belum menjadi jalan penting, rumah dan
bangunan hanya ada di sekitar bagian atas tanjakan dari Kali Galeh dan disebut
Jalan Gamblok dan belum menyambung ke sisi timur (yang kemudian menjadi
Kawedanan). Sisi timur Kademangan, kawasan Kalileri dan Ngemplak menjadi
kediaman golongan menengah kebawah, tampak dari petaknya yang kecil-kecil.
Pemerintah Hindia Belanda membangun jalur Kereta Api untuk mempermudah
pengangkutan barang-barang komoditas maupun sebagai angkutan militer.
Berdasarkan majalah Sinpo (1919) menerangkan bahwa, setelah aktifnya jalur
Semarang-Kedungjati dan stasiun Willem I, NIS merekrut seorang Tionghoa (Ho
Tjong An) yang dipercaya menjadi kontraktor pembangunan rel kereta api
Magelang-Secang-Temanggung-Parakan diborong dengan biaya f 350.000,- (Guilders
Belanda) angka yang fantastis diwaktu itu. Pemerintah Belanda membangun jalur kereta api
di Secang-Temanggung pada 15 Mei 1903. Pembangunan jalur ini dilakukan dengan
dua tahap, jalur Secang-Temanggung mulai beroperasi 3 Januari 1907 dan jalur Temanggung-Parakan
mulai beroperasi pada 1 Juli 1907. Sepanjang rute ini dibangun beberapa halte dan
stasiun sebagai tempat naik turun penumpang, di antaranya: stasiun Secang,
halte Nguwet, stasiun Kranggan, halte Guntur, stasiun Temanggung, halte maron,
stasiun Kedu, dan stasiun Parakan. Selain itu, pemerintah Hindia Belanda
membangun sebuah gudang penimbunan kopi beserta kediaman controlleur atau kepala kantornya.
Sekitar tahun 1910, jalan ke arah Kedu yang ditingkatkan untuk
kepentingan militer, sehingga terhubung ke Banyumas dan Purwokerto dan
memperlancar pergerakan militer di bagian tengah Jawa Tengah. Akibatnya jalan
masuk ke Parakan digeser menjadi lurus dari arah Kedu sampai ke Jubug dan
menyeberang Kali Galeh di dekatnya. Pola ini masih bertahan sampai sekarang.
Jalan baru ini membuat pasar semakin ramai dan membuat jalan Diponegoro
(sekarang) yang semula daerah pinggiran, menjadi jalan utama lurus ke Barat, menggantikan
jalur lama yang melalui Pecinan dan Kauman.
Pasar yang pada awalnya di sisi Barat Kademangan, bergeser ke sisi barat
alun-alun Kawedanan sampai sekarang masih dikenal dengan nama Pasar lawas.
Perkembangan besar di awal abad ke-20 membuat pasar ini tumpah keluar dan
menyebar ke barat, jalan baru, satu-satunya jurusan yang memungkinkan
perkembangan. Salah satu warisan jaman itu masih hidup sampai sekarang, yaitu
Pasar Entho, gang yang menghubungkan Kentengsari dan Kalileri.
Sejalan dengan pembangunan jalan raya Secang-Banyumas, maka pada tahun
1925 pasar digeser kembali. Pasar digeser cukup jauh, sekitar 1 km. ke arah
barat, memanfaatkan lahan bekas alun-alun Kadipaten di Desa Jetis. Pasar ini
dibangun dengan perencanaan yang baik dan merupakan salah satu karya Dinas Pekerjaan
Umum (Burgerlijke Openbare Werken/
BOW) terawal. Pasar ini masih memasukkan unsur estetik dengan penuh perhitungan,
sehingga sampai pertengahan abad lalu masih dianggap sebagai pasar tercantik di
Kedu.
Menurut Pantari, bangsa Belanda telah memberikan beberapa pengaruh terhadap
perkembangan fisik Kota Parakan, antara lain.
1. Perumahan
Budaya Belanda sangat berpengaruh terhadap arsitektur
bangunan terutama rumah-rumah disekitar stasiun. Disana banyak rumah berarsitektur Belanda
(rumah yang menghadap stasiun kereta api dan beberapa rumah di gang dalam
kawasan Pecinan). Namun demikian, rumah yang berarsitektur Cina relatif tidak banyak berubah.
2. Fasilitas
Umum
a. Fasilitas
peribadatan
1)
Klenteng
Sebelum pendudukan Belanda, klenteng berada di tengah pemukiman mereka
(menghadap utara) yang dibangun pada tahun 1872 dengan kondisi sederhana.Di
dalam kompleks klenteng itu terdapat mata air yang sangat jernih.Mata air
tersebut ada di tepi sungai Leri.Dekat dengan mata air terdapat rumah duka
sebagai tempat di semayamkannya jenazah etnis Cina sebelum dikremasi /
dimakamkan.
Tidak ada catatan sejarah yang lengkap tentang pemugaran klenteng
setelah dibangun tahun 1827.Berita pemugaran klenteng pertama kali dipugar pada
tahun 1852,kemudian 1882, dan pada tahun 1940.
2)
Masjid
Tempat peribadatan berupa masjid cukup besar di sebelah barat kawasan
sebagai tempat beribadah bagi umat Islam. Masjid selalu menghadap ke timur,
sehingga orang-orang cina mempunyai pendirian jika klenteng secara ambo
imajiner dengan arah menghadapnya masjid maka konflik dengan orang Islam tidak
akan pernah terjadi. Jika pada awalnya klenteng menghadap ke utara, maka
klenteng yang baru dipindah ke sebelah timur.Di tepi jalan Suaji menghadap ke
barat.
3)
Gereja
Di tengah hunian berdiri gereja Protestan
bagi pemeluk agama tersebut yang dulu merupakan pengaruh Belanda.
b. Fasilitas
Pendidikan
Di lingkungan klenteng baru terdapat fasilitas pendidikan yang lengkap
mulai dari Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan
Sekolah Menengah Atas.
c. Fasilitas
Kontak Sosial
Di era ini belum ada fasilitas kontak sosial yang berupa gedung.
d. Fasilitas
Perdagangan
1)
Pasar
Di daerah sekitar jalan Diponegoro
terdapat sebuah gang yang menjadi sampel kegiatan jual beli, yang dikenal
dengan pasar Entho. Pasar ini ramai dengan transaksi jual beli di pagi hari dan
akan surut ketika siang hari. Pedagang di pasai Entho menjual berbagai macam
makanan tradisional seperti seperti gethuk, gathot / tiwul dan
sebagainya.Selain itu, juga menyediakan kebutuhan sehari-hari seperti
sayur-mayur, sembako dan
sebagainya.Di pasar ini penjual membuat dan membawa sendiri barang dagangannya.
2)
Toko (komplek pertokoan)
Di sepanjang jalan Diponegoro dan jalan Brigjen Katamso berderet toko
dan ruko.Daerah ini merupakan pusat perdagangan di Parakan. Di daerah ini
banyak bangunan rumah yang beralih fungsi menjadi ruko atau toko.
3)
Warung
Pada masa ini, warung berada di dalam rumah mereka.Selain itu, warung
juga tersebar di pasar Entho.
3. Fasilitas
Penunjang
a. Gudang
Tembakau
Tembakau mempunyai nilai jual yang cukup tinggi.Belanda menjadikan tembakau sebagai incaran komoditas mereka.Dalam
sistem perdagangan tembakau, pemerintah Belanda
menyerahkan kepada orang Cina.Ramainya perdagangan tembakau menjadikan sebagian
besar tanah tempat tinggal juga mempunyai fungsi sebagai gudang tembakau.
b. Gudang
penyimpanan barang-barang dagangan toko
Gudang
ini untuk menyimpan barang yang dijual di toko,misalnya: toko alat /perlengkapan bangunan, toko besi, toko peralatan rumah tangga,toko
kelontong/sembako dan sebagainya.
Transportasi
di daerah gudang sangat ramai sehingga sering terjadi kemacetan lalu lintas
saat musim tembakau.Hal ini juga masih terjadi di masa sekarang.
2.1.1.4.
Masa
Penjajahan Jepang dan Perang Kemerdekaan (1942 – 1945)
Nama Kyai Subukhi atau Kyai Subchi tidak dapat dipisahkan dari
perjuangan masyarakat Parakan dalam perang
kemerdekaan. Pada tahun 1941 Kyai Subkhi meminta para santri dan pemuda desa
untuk mengadakan persiapan perang. Dalam pertemuan tersebut dibentuk pasukan Hizbullah-Sabilillah di bawah pimpinan
Kyai Subchi.
Pasukan yang dibentuk mengalami kendala dalam hal
persenjataan. Senjata yang dimiliki oleh santri dan pemuda desa adalah pedang,
golok, klewang, keris, tombak, dan sebagainya. Senjata inipun terbatas.Akhirnya
Kyai Noer mengusulkan agar pasukan tersebut dipersenjatai
dengan cucukan (bambu yang diruncingkan ujungnya) –kemudian dikenal dengan
bambu runcing- dengan alasan bambu mudah diperoleh.Selain
itu, luka yang diakibatkan oleh tusukan cucukan juga lebih parah akibatnya
sehingga sulit diobati.
Usul ini
akhirnya diterima secara mufakat.Hanya saja, menurut Kyai Subchi masih ada kendala, yakni bagaimana
membuat rakyat bersemangat dan yakin jika hanya dengan bersenjatakan cucukan,
bisa menghadapi musuh dan meraih kemenangan.
Maka Kyai Subchi pun mengumpulkan pasukan lalu memanjatkan
doá agar Allah Subhanahu WaTaála memberikan kekuatan istimewa kepada pasukan
cucukan ini. Doá itu berbunyi : “Laa Tudrikhuhul Absar Wahuwa Tudhrikuhul
Absar Wahuwa Latiful Kabir.”
Pada
tahun 1942 Jepang pun datang dan pecah perang besar antara Belanda melawan
Jepang.Pasukan Jepang pernah ingin menguasai Parakan, namun dihadang
oleh Pasukan Bambu Runcing Kyai
Subchi.Dan akhirnya Jepang pun mengurungkan niatnya ke Parakan dan meneruskan
geraknya ke Wonosobo.Kabar keberhasilan pasukan cucukan Kyai Subchi menghalau pasukan Jepang ini menjadi buah
bibir pasukan lainnya.
2.1.1.5.
Paska
Perang Kemerdekaan (1945 – sekarang)
Menurut buku Kesaksian Progo, setelah proklamasi dikumandangkan
di Temanggung masih terdapat satu pleton tentara Jepang lengkap dengan
senjatanya.Mereka bermarkas di Mungseng, Banyutarung, dan Gudung Seng.Sisa
pasukan tersebut belum mau menerima berita kekalahan bangsanya. Pun dengan
pasukan Sekutu, perilakunya masih saja sebagai penjajah. Kebencian di kalangan
rakyat akhirnya memuncak dan pecahlah pertempuran-pertempuran kcil antara
gerilyawan dengan sisa pasukan pejajah.
Di Parakan, tiga tentara Jepang tewas oleh sergapan pemuda yang
bergabung dengan BKR-AMRI. Pada awalnya, para gerilyawan mendengar kabar burung
bahwa ada sembilan tentara Jepang yang akan menuju Ngadirejo. Para
gerilyawan memutuskan untuk menghadang mereka tepat di jembatan Kali
Galeh.Inilah pertempuran kecil yang berhasil mengusir Jepang dari bumi
Temanggung dan semuanya meninggalkan daerah ini menuju Magelang.
Selang beberapa saat, pasukan Inggris
datang ke Indonsia untuk melucuti persenjataan tentara Jepang yang masih bercokol di
Magelang.Tentara Inggris datang dengan membawa serta pasukan khusus Gurkha dan
ternyata diboncengi oleh NICA (Netherlands
Indies Civil Administration) atau Pemerintahan Sipil Hindia Belanda, yang
menginginkan daerah jajahannya kembali.
Tanggal 27 November 1945, kota Magelang secara total diduduki
sekutu. Jarak yang begitu dekat antara Magelang dan Temanggung telah mmbuat para pimpinan pemerintahan di Temanggung khawatir.Melalui
jalur tradisional,Bupati Temanggung Sutikwo menghubungi para ulama untuk membahas
pendudukan sekutu di Magelang dan kemungkinan masuknya tentara asing ke
Temanggung.Pertemuan dilaksanakan di Pendopo Kawedanan Parakan. Dipilihnya
Parakan sebagai pertemuan ulama dan umaro’, karena tempat ini secara mutlak masih dikuasai oleh BKR dan pejuang lain. Pertimbangan
lainnya, untuk mencapai Parakan, pasukan sekutu harus
melewati jalur rawan,misalnya jembatan Progo di Kranggan dan jembatan Kali
Galeh di Parakan. Dalam pertemuan ini menghasilkan keputusan tentang pembuatangerakan
Bambu Runcing yang diberi nama Barisan Bambu Runcing atau Barisan Muslim Temanggung, yang
kemudian dikenal dengan BMT dan markas BMT berada di rumah warga Tionghoa yang
pindah ke Jakarta. Tempat itu dinilai strategis dan cukup luas.
Menurut catatan, sekitar 10.000 pejuang tiap harinya selama sekitar 1 tahun datang keParakan, lengkap dengan bambu
runcingnya, untuk menemui Kyai Subchi
dan meminta doanya. Para pejuang dari Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Yogyakarta sampai kawasan Banyuwangi, dengan naik kereta api. Digambarkan, pada
waktu itu kereta api yang penuh sesak dengan bambu runcing. Sejak saat itu
bambu runcing telah menjadi senjata Jihad
Fii Sabilillah yang terkenal keampuhannya. Pada waktu itu kota Parakan :
pagi, siang, malam seperti Pasar Malam, bahkan seperti di Mekah, karena
antrinya panjang seperti para Jama'ah Haji di waktu Thowaf. Begitu luar
biasanya cerita Bambu Runcing tersebut, Djawatan Kereta Api memberikan pelayanan khusus untuk memfasilitasi para pejuang yang akan datang ke Parakan dengan memberlakukan KLB (Kereta Luar Biasa)
Tahun 1948-1949, jembatan Kali
Progo menjadi saksi bisu kebiadaban Belanda.Pasukan KNIL di bawah pimpinan Van
Der Zee melakukan penangkapan
terhadap siapa saja yang dicurigai.Parapejuang dari TNI, kelaskaran atau
Tentara Pelajar bahkan rakyat biasa yang tertangkap dipenjarakan di IVG, sebuah
penampungan yang sekaligus menjadi markas Belanda.Jika tahanan yang dicurigai
merupakan orang-orang yang cukup berbahaya bagi Belanda, malam harinya dibawa kearah
timur dengan menggunakan jeep.Di atas jembatan Kali Progo itulah,leher mereka
digorok atau ditebas dengan parang.Mayat para korban begitu saja dijatuhkan ke
sungai, sehingga warna air menjadi semakin keruh.Hal ini mengejutkan warga yang
ada di hilir, mereka menemukan mayat yang tidak diketahui identiasnya.Kejadian
ini berlangsung sampai awal tahun 1950, sehingga warga di hilir menjadi “terbiasa”
dengan pemandangan tersebut.
Pada tanggal 20 Desember 1948
kota Temanggung dibumihanguskan. Hal ini dilakukan untuk menghambat tentara
Sekutu memasuki Temanggung dan Wonosobo. TNI,Polisi, Pamong Praja, para pejuang
dan seluruh masyarakat yang tak rela buminya dimanfaatkan oleh bangsa penjajah,
turut membakar apa saja yang sekiranya dapat dimanfaatkan oleh Belanda. Asap
mengepul sangat tinggi, hitam legam. Di kota Temanggung, terdapat sekitar 28
bangunan yang dibumihanguskan. Diantara bangunan-bangunan itu adalah kantor kabupaten,
penjara, kantor pengadilan, gedung NIS, gedung SMP, kantor pos,kantor telepon, kantor
kawedanan,
asrama ALRI, pasar Lor an Kidul, gedung biskop,kantor PLN,Bank Rakyat, RPCM,
stasiun kereta api, dan beberapa tempat lainnya.
Pada tanggal 21 Desember 1948
pasukan Belanda melancarkan serangan besar-besaran terhadap Kota Temanggung,
baik dari darat maupun udara. Tanggal 23 Desember 1948 puku 10.00 WIB, mereka
berhasil masuk ke kota Temanggung yang tinggal reruntuhan.
Akhir dasawarsa 1970-an,
kebijakan perdagangan yang liberal melahirkan raksasa-raksasa industri. Mereka
membutuhkan pasokan tembakau bagi industri rokok kretek yang semakin besar.
Pola perniagaan tembakau juga berubah sama sekali, dari sekelompok modal kecil
menjadi satu-dua modal raksasa. Perempat terakhir abad lalu merupakan masa
paling mengenaskan bagi kota Parakan.
Di puncak perniagaan tembakau,
kebutuhan akan pergudangan meningkat dengan cepat, banyak sekali rumah dan
bangunan tua menjadi korban, dirubah menjadi gudang tembakau. Parakan mengalami
ledakan penduduk besar-besaran. Lahir kampung-kampung baru seperti Karangsari
di arah barat, Panjangsari ke timur. Jalan Tobongan yang di 1970-ann kosong,
mulai dipenuhi bangunan baru, sekolah, mesjid, kelurahan, pertokoan dan rumah tinggal.
Seiring dengan perjalalanan
waktu dengan berbagai pengaruh politik dan budaya yang berkembang, daerah
Temanggung memiliki warna budaya yang cukup beragam dengan tinggalan budaya
yang masih dapat dilihat dan ditemui. Namun perkembangan penduduk dan wilayah di
masa kini memiliki andil besar untuk mengancam keberadaan tinggalan-tinggalan
budaya yang tersebar di wilayah Temanggung. Oleh karena itu pencatatan terhadap
keberadaan tinggalan-tinggalan budaya perlu segera dilakukan agar tidak hilang
bukti sejarah yang ada.Sumber:
Ahmad, Fandi. 2011. Mengenal Kabupaten
Temanggung dan Peninggalan Bersejarah. Tersedia: http://alfandiv.blogspot.co.id/2011/05/mengenal-kabupaten-temanggung-dan.html
Arif, Muhamad Wislan. 2015. Objek
Wisata Kabupaten Temanggung. Tersedia: http://www.kompasiana.com/lintar/objek-wisata-kabupatentemanggung_55004d62a33311e57251074f
Bappeda.2013. Tembakau Srinthil
Temanggung. Temanggung: Bappeda Kabupaten Temanggung
Eka Saptari, Dwi Pantari Wadya. 2012. Morfologi Kawasan Pecinan Di Parakan Kabupaten
Temanggung. Tesis Universitas Atmajaya Yogyakarta. Yogyakarta: Tidak
Diterbitkan
Muhaiminang. 2007. Sejarah Bambu
Runcing, Sejarah Kota Parakan.Tersedia: http://kyaiparakbamburuncing.blogspot.co.id/
Murtiyoso, Sutrisno. 2015. Laporan
Antara Kajian Morfologi Kota Parakan dan Potensi Pelestarian. Temanggung:
Bappeda
Prawirodisastro, Rekso Kadang Kitri
Djayus. 2010. Sejarah Kota Parakan. Tersedia: http://reksokadangkitridjayusprawirodisastro.blogspot.co.id/2010/04/sejarah-kota-parakan.html
Saiful. 2012. Sistim Politik Kerajaan
Mataram Islam. Tersedia: http://saefulhistory-sejarah-saefulhistory.blogspot.co.id/2012/02/sistim-politik-kerajaan-mataram-islam.html
Sudarto HS. 2015. Sejarah Mataram
Kuno.Tersedia: ki-demang.com
Tim Penyusun. 1998. Temanggung,
Tempo Dulu,Sekrang Serta Prospek di Masa Depan. Temanggung: Pemerintah
Kabupaten Temanggung
Tim Penyusun. 2013. Kesaksian Progo,
Kisah Perjuangan Rakyat Temangung 1945-1950. Temanggung: Disbudparpora
Kabupaten Temanggung
Tim Penyusun. 2014. Liangan, Mozaik Perdaban Mataram Kuno di
Lereng Sindoro. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta
Tim Penyusun. 2015. Menelusuri Sejarah Rakai Pikatan dan
Munculnya Nama Temanggung. Tersedia: http://www.temanggungkab.go.id/info/detail/2/14/profil.html
Tim Penyusun. 2015. Parakan,
Temanggung. Tersedia: https://id.wikipedia.org/wiki/Parakan,_Temanggung
Tim Penyusun. 2015. Bambu Runcing.
Tersedia: https://id.wikipedia.org/wiki/Bambu_runcing
Utama,Prima. 2014. Jejak Kereta Api Di
Kota Tembakau. Tersedia: http://blusukanjalurmati.blogspot.co.id/2014/10/jejak-kereta-api-di-kota-tembakau.html
lanjutkan .....
BalasHapussangat bermanfaat :)
BalasHapusterimakasi..mohon masukannya
HapusMembaca artikel ini menjadi teringat pelajaran sejarah, masihkan hati ini anak-anak belajar sejarah di sekolah? Lama tidak sekolah, kalaupun ada anak--amak tetangga yang belajar kebanyakan hanya tentang matematika, dll. Jarang yang mempelajari sejarah.
BalasHapusSemoga artikel ini bisa menjadi penguat pengenalan sejarah
Baca artikel sejarah gini mesti kudu siap baca banyak tapi emang banyak banget manfaatnya
BalasHapusjadi belajar sejarah lagi aku.
BalasHapus