.
Tokoh
yang identik dengan pendidikan di Indonesia ini mampu dikemas dengan bahasa
yang apik oleh Haidar Mustafa. Dalam kemasan Novel Biografi kita diajak untuk
mengenal lebih dekat sosok Ki Hadjar Dewantara. Novel yang cukup padat dan
mampu membuat kita lebih dekat dengan penggagas Taman Siswa. Banyak pelajaran
yang dapat kita ambil dari novel biografi ini.
1.
Pentingnya pendidikan agama bagi anak
Soewardi
kecil merupakan seorang anak dengan kondisi fisik yang sangat lemah. Tubuhnya
kecil dan sering sakit-sakitan. Pada usia 5 tahun dia dikirim oleh ayahnya
untuk belajar ilmu agama di Sleman. Disana dia memperdalam ilmu agama islam.
Setelah tiga tahun belajar agama orang tuanya kemudian menjemput Soewardi, dia
akan disekolahkan di sekolah milik pemerintah Belanda. Soewardi sangat bahagia
mendengar ini, karena itu menjadi keinginannya. Mendapatkan pendidikan agama
sejak dini membuat soewardi lebih dekat dengan Tuhannya. Meskipun secara fisik dia
lemah tetapi dia memilki jiwa dan kemauan yang kuat. Dia tumbuh menjadi orang
yang berjiwa lembut dan penuh obsesi kebaikan. Itulah yang menyebabkan dia
gigih dalam berjuang merebut kemerdekaan. Melakukan apapun dalam hidupnya
sebagai jalan perjuangan di jalan Allah.
2. Memaknai kegagalan
Soewardi
adalah anak yang cerdas, hal inilah yang mengantarkannya bersekolah ke STOVIA
dengan jalur beasiswa. STOVIA adalah sekolah para dokter, pelajar di STOVIA
kelak akan ditempatkan di daerah-daerah terpencil yang rawan dengan berbagai
macam penyakit. Kesibukan Soewardi di organisasi Boedi Oetomo dan dunia
jurnalistik membuat dia jatuh sakit. Sehingga membuat ketinggalan beberapa
pelajaran. Di akhir pengumuman dia tidak naik tingkat dan beasiswanya dicabut.
Jika ingin melanjutkan sekolah di STOVIA dia harus membayar sendiri.. Kejadian
ini sangat memukul perasaannya. Bayangan wajah kecewa Ayah dan Ibunya
senantiasa membayangi. Dia sempat “menghilang” dari Boedi Oetomo karena merasa
malu. Oleh teman-temannya Soewardi dikenal sebaga anak yang cakap dan pintar,
tetapi sekarang dia tinggal kelas.
Ada
dua temannya yang selalu memberikan semangat kepada Soewardi untuk bisa tabah.
Mereka intens menemui Soewardi, hingga pada akhirnya Soewardi menemukan rasa
percaya dirinya lagi dan menerima kegagalan yang di alami. Hal tersulit untuk
Soewardi adalah memberitahukan kegagalannya kepada Ayah dan Ibunya. Tetapi
inilah penerimaan orang tua Soewardi yang tidak pernah disangka. Orang tuanya
tidak mempermasalahkan kegagalan anaknya bahkan jika memang Soewardi masih
ingin melanjutkan sekolah di STOVIA orang tuanya akan membiayai. Tapi hal ini
ditolak oleh soewardi, dia akhirnya memutuskan untuk menemui kakaknya yang
bekerja di perkebunan milik pemerintah belanda.
Dengan
bantuan kakaknya dia akhirnya bekerja di pabrik Gula di daerah banyumas. Dia
memang gagal menjadi seorang Dokter, yang dia harapkan menjadi jalan baginya
memperjuangkan kemerdekaan dan membela rakyat di tanah airnya. Tetapi dia
bangkit dan menemukan jalan lain.
3. Kebijaksanaan dan teladan dalam keluarga untuk
pembentukan karakter anak
Keluarga
merupakan lingkungan sosial masyarakat terkecil yang memberikan pendidikan
pertama bagi anak. Kehangatan keluarga Soewardi dan berbagai macam teladan dari
orang tuanya memberikan andil cukup besar dalam pembentukan karakternya.
Ayahnya adalah putra sulung dari Kerajaan Pakualaman. Dia terlahir sebagai
seorang yang tidak bisa melihat, tetapi dia memiliki banyak ilmu pengetahuan.
Agama, seni, sastra, dan budaya. Seharunya dialah yang melanjutkan tahta
pemerintahan, karena dia adalah anak pertama. Sikapnya yang tidak kooperatif
dengan penjajah Belanda membuatnya harus tinggal di sebuah puri di luar istana.
Dia tidak suka dengan cara belanda memperlakukan rakyatnya. Meskipun terlahir
sebagai seorang priyayi dia tidak pernah melarang anaknya bergaul dengan rakyat
jelata. Baginya, dihadapan Allah semua manusia itu sama yang membedakan
hanyalah tingkat ketaqwaan.
Ayah
Soewardi telah memberikan pelajaran yang layak untuk anaknya, maka dia selalu
percaya anak-anaknya memilih jalan yang benar. Mendukung penuh anak-anaknya
untuk turut berjuang merebut kemerdekaan dari penjajahan. Dalam novel ini
diceritakan kedua orang tua Soewardi tidak pernah marah atau memukul anaknya.
Sebuah keluarga yang hangat dan demokratis begitulah yang digambarkan dalam
novel ini.
4. Menulis sebagai alat perjuangan dan corong propaganda
Soewardi
mendapat tugas sebagai propagandis di Boedi Oetomo. Dia memiliki tugas untuk
mengkritisi segala kebijakan pemerintah Hndia Blanda yang tidak berpihak kepada
rakyat melalui tulisan. Tulisan dari Soewardi tajam dan provokatif. Salah satu
tulisan yang membuat dia dimasukkan kedalam penjara untuk kali pertama kemudian
dikirim ke pembuangan adalah tulsan yang berjudul “Andai Aku Seorang Hindia
Belanda”. Tulisan ini mengecam rencna pemerintah Belanda untuk merayakan 100
tahun kemerdekaan Belanda dari Spanyol. Perayaan ini direncanakan dilakukan
secara besar-besaran dengan meminta rakyat memberikan sumbangan. Tentu saja hal
ini membuat geram para pejuang. Sekembalnya dari tempat pembuangan, Soewardi
tetap rajin menulis dan mengkiritik pemerintah Belanda.
5. Meninggalkan Gelar Bangsawang dengan mengganti nama
Embel-embel
panggilan Raden Mas yang sering diucapkan sahabat Soewardi membuat dia merasa
tidak nyaman. Dia merasa panggilan itu menyebabkan sekat antara dia dengan
sahabat-sahabatnya. Akhirnya Raden Mas Soewardi Soerjaningrat mengganti namanya
menjadi KI Hajar Dewantara.
6. Meluruskan kembali pandangan kita tentang
pendidikan
Pentingnya
pendidikan sudah disadari oleh Soewardi sejak dia masih kecil. Semangatnya
untuk membuat sekolah untuk rakyat jelata sudah mulai tumbuh sejak dia berusia
delapan tahun. Dia berteman dengan seorang rakyat jelata seusianya yang bernama
Sariman. Dia pernah berjanji kepada Sariman untuk mengajaknya ke bangku
sekolah. Tetapi ternyata hal itu tidak bisa diwujudkan.
Setelah
lama dia berjuang melalui jalur jurnalistik, akhirnya dia teringat dengan
sahabatnya. Kemudian Soewardi bergabung dengan kakaknya membangun sebuah
sekolah yang diperuntukkan masyarakat pribumi. Selang beberapa saat Soewardi
membuat sekolah sendiri yang bernama Taman Siswa. Dia ingin membuat sebuah
sekolah dengan sistem yang berbeda dari sistem pendidikan belanda.
Menurutnya,
sistem pendidikan belanda tidak menempatkan manusia sebagaimana mestinya. Tidak
sedikit orang yang sekolah di Sekolah milik Belanda akhirnya nasionalisme
terhadap nengerinya menjadi luntur. Baginya, pendidikan adalah ikhtiar untuk
mengajak manusia menadi priadi mandiri. Pendidikan bukan hanya sarana transfer
ilmu pengetahuan belaka, tetapi diajuga berfungsi untuk membentuk kepribadian
anak. Sehingga mereka mampu menyelaraskan diri dengan zamannya. Tujuan utama
yang ingin dicapai oleh Ki Hajar Dewantara adalah terbentuknya generasi bangsa
Indonesia yang mandiri, penuh daya kreasi, memiliki prinsip hidup yang kuat,
dan berbudi pekerti mulia.
Anak-anak
yang belajar di Taman Siswa dapat mengaktualisasikan diri sesuai dengan
kemapuannya. Dia sangat berharap melalui pendidikan harkat dan martabat kaum
pribumi dapat meningkat dan berdiri sejajar dengan bangsa lainnya. Selain itu
dia juga berharap pendidikan yang diterapkan mampu memupk rasa Nasionalisme dan
Cinta tanah air. Ki Hajar Dewantara memiliki tiga hal dalam membangun
Tamansiswa dan dapat dijadikan refrensi dalam membangun sistem pendidikan:
a.
Tiga Fatwa Pendidikan Tamansiswa
• Tetep, antep, mantep
• Ngandel, Kendel, Bandel
• Neng, Ning, Nung, Nang
b.
Semboyan Pendidikan Tamansiswa
• Ing Ngarso Sung Tulodha
• Ing Madya Mangun Karsa
• Tut Wuri Handayani
c.
Tri Pusat Pendidikan
• Alam Keluarga
• Alam Perguruan
• Alam Masyarakat
Baginya
pendidikan adalah alat perjuangan, bukan sekedar menyiapkan generasi untuk
memperoleh kemerdekaan tetap juga sebagai saran menyiapkan genarasi unggul dan
bermartabat.
7.
Istri yang selalu mendukung cita-cita dan tujuan perjuangan suami
Dibalik
laki-laki hebar ada perempuan tangguh dibelakangnya. Wanita tangguh, kuat
pantas dilayangkan kepada Soertatinah, istri Ki Hajar Dewantara. Selang
beberapa saat pernikahan mereka, Soertatinah harus mengikuti suaminya ke Negeri
Belanda sebagai buangan. Berbagai macam kesulitan harus dihadapi di awal-awal
pernikahan mereka. Perbedaan iklim, minimnya uang, dan jauh dari keluarga
menjadi ujian pertama atas penikahan mereka. Raden Ayu Soertatinah, seorang
keturunan ningrat yang hdup bersahaja. Ketika suaminya memilih pendidikan
sebagai jalan perjuangan meraih kemerdekaan dia selalu mendukung suaminya.
Honor yang didapatkan suaminya Soertatnah sebagai guru di sekolah milik
kakaknya lebih sedikit dibandingkan honor sebagai penulis. Tak jarang
Soertatinah dan suaminya makan sepiring berdua karena kondisi yang serba tidak
ada.
Dikisahkan, dua kali Ki Hajar Dewantara meminta
maaf kepada Soertatinah. Ki Hajar merasa belum mampu menjalankan peran kepala
keluarga dengan baik. Dengan penuh cinta dan kelembutan Soertatinah mampu
menenangkan hati suaminya. Di tengah semangat Ki Hajar Dewantara mendirikan
taman siswa, dia terkendala biaya. Dengan penuh keikhlasan Sortatinah
menyerahkan sekotak perhiasannya untuk dijadikan modal tambahan pembangunan
taman siswa. Baginya menemami perjuangan suaminya merebut kemerdekaan sudah
menjadi tugas mulia. Dia tidak pernah mengeluh di saat susah, memberikan harta
yang dimiliki untuk mewujudkan cita-cita luhur suaminya.