Menemukan dan meyakini bahwa aku jujur dengan paradigma hidupku adalah hal mendesak untuk segera dilakukan. Life is never flat. Hidup ga boleh kalau datar-datar aja, dinamisasi itu perlu. Loncatan-loncatan harus dilakukan. Terus mengasah untuk mendefinisikan kemampuan, kepribadian, kehidupan.
Okay, langkah pertama adalah mengingat hal yang menjadi golden dalam hidup serta bagaimana perasaan saat itu. Aku selalu merasa rindu dengan masa-masa saat kuliah di semester satu. Keinginan besarku menunjukkan bahwa mahasiswa paralel tidak boleh di anggap sebelah mata jika dibandingkan mahasiswa reguler begitu besar. Saat itu, aku bertemu dengan hal-hal baru. Sangat mungkin untuk aku menjadi aku yang tidak dikenali lagi oleh teman-temanku saat SMA. Saat itu, aku menemukan ritme belajar yang sangat mengasyikkan. Ada nuansa tenang saat belajar dan mengerjakan tugas. Bangun tengah malam, kadang mandi dulu baru belajar lalu sholat malam tilawah subuh berjamaah dan al ma'tsurat menjadi kebiasaan yang sangat menenangkan. Ya... Saar itu aku tenang. Aku yakin dengan obsesiku. Aku mencintai jurusanku. Saat itu pula, aki adalah anak yang disayang oleh ayah dan ibuku. Yaps, paket lengkap kasih sayang dari bapak, ibuk, dan lingkungan baru hadir untukku.
Semua mulai berubah ketika studiku kacau di akhir kuliah. Semua keteteran...semua berantakan. Aku merasa bukan aku. Ya..ada ruang kosong yang tak bisa didefinisikan. Semangat belajar dan ibadahku bisa dikatakan turun drastis. Target di awal kuliah hanya tinggal cerita. Meski aku juga menemukan setitik bahagia, banyak orang yang menganggapku ada. Ya... di akhir perkuliahan ini aku punya banyak orang yang menjadikan aku tempat sampah dan tempat berbagi. Ada bahagia ketika mereka bahagia. Ada sisi otak yang sepertinya terpakai dan aku menjadi merasa berharga namun, disisi lain aku merasa gagal. Gagal menjadi kebanggaan ayah dan ibu karena lamanya masa studi.
Rasanya, ada ganjalan...aku merasa kehilangan kepercayaan ayah dan ibu dalam menentukan masa depan. Hubunganku dengan orang lain tak ada masalah, tapi komunikasi ke kedua ortu itu perlu diperbaiki.
Aku ingin selalu lantang dan ada di bagian terdepan dalam melakukan kebaikan. Menggagas ide baru, melakukan hal-hal segar dalam berkreasi.
Aku sangat ingin ujung dari seluruh usahaku adalah Allah. Namun, kadang ada bisikan yang mengganggu. Yakin Allah? Ortumu saja kau kecewakan. Begitu kurang lebih. Yaaa ternyata, ridha nya ayah dan ibuku benar-benar memberikan pengaruh besar.
Dulu aku pernah bilang, akan berada di jalan kebaikan ini tersebab ingin menjadi alasan bagi ayah dan ibuku masuk ke dalam surganya Allah.
Aku hanya ingin ayah dan ibuku mempercayaiku kembali, mempercatai dalam aku menemukan masa depanku.
Hari ini aku menjadi seorang ibu rumah tangga. Pilihanku jelas, bekerja full time setelah anak-anak sudah bisa ditinggal. Bukan sekarang. Tapi, ini tak bisa diterima. Kadang aku merasa, aku harus menjadi simbol kebanggaan mereka. Kudu perfect.
Aku merenung kembali, dan mengambil sebuah kesimpulan bahwa, aku menjalani aktivitas dengan penuh semangat, kebahagiaan, dan ketenangan jika aku melakukan sesuatu karena alasan orang lain. Aku bahagia ketika orang lain merasa bahagia dan berhasil karena bantuanku. Ya...aku ingin ikut andil dalam keberhasilan seseorang. Dan seringnya aku lupa kalau aku juga harus sampai pada keberhasilan itu.
Aku mampu jika kuoptimalkan semua. Tak bisa aku dipaksa melakukan sesuatu jika alasannya adalah diriku. Ada orang lain yang lebib berhak menjadi alasan untuk aku bangkit dari keterpurukan. Misalnya, ketika studu S1 ku sudah di ujung tanduk. Hatiku bersikeras ingin menemukan alasan kuat kenapa aku harus lulus. Ternyata, penyulut api semangat terbesar adalah kesadaranku untuk menjaga nama baik organisasi kebaikan yang aku ikuti. Aku tidak mau jika kelak di kemudian hari ada mahasiswa enggan serius menjadi sponsor dan pelaku utama kebaikan gegara ada kisah burukku secara akademik.
Nah, sekarang berarti aku harus menemukan alasan mengapa aku tidak menjadi ibu rumah tangga biasa. Mengapa aku harus kembali bekerja. Benarkah menjadi PNS adalah pilihan terbaik? Atau menjadi penulis?
Serius menjalani hidup, lebih terencana, lakukan seoptimal mungkin, rapikan seluruh mimpi dan sumberdaya yang akan membantu sampai pada mimpi-mimpi itu. Yuks, tata ulang peta hidup.