POV Suryati
Mendengar penjelasan Kyai Mojo hatiku menjadi tidak karuan. Rasanya ingin teriak dan meluapkan segala rasa yang membuncah. Aku benar-benar isi dengan Uwais Al Qarni. Meskipun hal yang dilakukannya berat, paling tidak dia masih bisa berbincang dengan ibunya. Masih bisa memuliakannya, masih bisa merasakan hangatnya pelukan. Aku, si gadis desa biasa benar-benar menantikan keajaiban mengenai kabar dari kedua orang tuaku. Tak terima rasanya dengan rencana takdir Allah, tak adil jika seperti ini, aku menjadi yatim piatu sejak lahir. Harus hidup dengan seorang kakek yang tidak mengerti ilmu agama. Bahkan ketika dikonfirmasi ternyata beliau adalah pemimpin aliran kepercayaan. Sudah jelas tidak mungkin aku bisa seperti Uwais, yang mengajak orang tuanya menyempurnakan rukun Islam.
Arghh seandainya ibuku masih ada pasti aku akan mencoba membawa sapi naik turun gunung Sumbing. Aku ingin berlatih agar kuat membawa ibuku. Aku sangat ingin menjadi anak berbakti, aku ingin membasuh kaki ibu, menyiapkan teh panas untuk bapak. Allah, tidak berhakkah aku menjadi manusia sewajarnya? Seperti teman-teman lainnya? Bahkan sampai hari ini nyekar ke makamnya saja belum. Hanya merapalkan doa di akhir sholat untuk mereka.
Kenapa semua orang di desa ini seolah menutupi tentang orang tuaku. Apa salah mereka pada desa ini? Setiap aku mencoba bertanya tentang kedua orangtuaku langsung seketika mengalihkan pembicaraan. Bukan hanya kakekku bahkan kyai Mojo juga begitu. Aku sekarang sudah besar, aku yakin pasti bisa menerima kenyataan.
Apakah ayah dan ibuku tiada tanpa meninggalkan jasad? Sampai tidak ada makam beliau berdua? Aku perlu mencari petunjuk semua misteri itu sendiri. Bulan depan aku sudah berusia 17 tahun. Aku sudah besar, aku berhak tau semuanya. Tentang masa laluku, orang tuaku.
---
"Sur, kamu kenapa?", Kyai Mojo menghentikan penjelasannya, dan menatapku penuh tanda tanya. Ah...iya, ternyata mataku terasa panas. Sedikit lagi sudah menganak sungai.
"Tidak apa-apa, Kyai", bergetar suaraku.
"Yakin?", tanya kyai menyelidik
"Iya", jawabku lirih
"Nanti setelah pertemuan hari ini selesai kita bicara sebentar, ya", kata kyai lembut.
Aku cukup beruntung bisa bertemu dengan kyai Mojo ini. Banyak ilmu tentang kehidupan yang aku dapatkan dari beliau. Melalui beliaulah akhirnya aku bisa mengenal Islam dan mempelajari Al Qur'an dengan baik. Ketulusan dan keikhlasan beliau dalam menyampaikan risalah membuat beberapa mata hati penduduk desa ini untuk menerima cahaya Illahi.
Waktu itu, saat aku masih berusia sekitar lima tahun aku bertemu beliau. Aku sedang menaruh sesaji di dekat pohon besar dekat sendang. Kyai baru saja mengambil air wudu. Dari kejauhan aku mengamatinya. Satu persatu gerakan kulihat, aku sangat takjub melihatnya. Selang beberapa lama kemudian, beliau menggelar sajadah di pinggiran. Melaksanakan sholat dengan khusuk. Kulihat lagi lebih dalam. Beliau sedang menangis sesenggukan seperti sedang mengajukan hajat sambil menengadahkan kepala. Syahdu dan semakin sejuk. Belum pernah aku melihat prosesi sembahyang sehebat itu. Bahkan kakekku yang katanya paling baik di antara pengikut kepercayaan yang lain tidak pernah sedahsyat ini getarannya dalam dadaku.
Aku mendekati Kyai, lalu saat itu ada perbincangan hangat. Hingga akhirnya aku mengerti dan rasanya lebih logis dan jelas pelajaran sang Kyai. Mulai hari itu aku mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi murid wanita pertama kyai.
Mungkin saat aku bicara dengan kyai, aku ingin bertanya kepada beliau mengenai orang tuaku. Konon beliau ke desa ini setahun sebelum aku lahir. Jadi, pasti Kyai tahu cerita tentang orang tuaku.
Part sebelumnya menceritakan dua tokoh dalam cerbung ini, yaitu Mbah Djati dan Suryati. Seorang kakeng dan cucunya yang hidup bersama karena orang tua Suryati telah tiada. Namun, ada satu yang ganjil, sampai usia yang ke-16 Suryati belum pernah melihat makan kedua orang tuanya.
----
Suara anak-anak riuh bekejaran. Setelah tegang antri hafalan hadits arbain ke-2 akhirnya mereka bisa melepas tawanya kembali. Di sisi serambi bagian utara tampak sekelompok anak putri asyik membaca buku waqaf dari para dermawan. Anak-anak sangat menyukainya karena buku berwarna, kertas bagus, dan gaya bahasa masuk ke mereka. Tingkah polah mereka seolah menggambarkan perilaku manusia. Bisa saja ujiannya sama, tetapi proses untuk melupakan dan menyembuhkan sisa kegelisahan berbeda. Ada yang berteriak lalu berlarian, ada pula yang menekur dalam sepi lalu mengeja bacaan.
Sekarang mereka sudah memiliki kegiatan rutin sepulang sekolah. Belajar membaca Al Qur'an, hafalan, mendengarkan cerita para sahabat Nabi. Suasana ini tentu sangat berbeda dengan 17 tahun yang lalu. Saat aku menginjakkan kaki pertama kali di tanah ini. Bahkan langgar pun hanya terbuat dari batang bambu yang sudah reot dengan atap genteng bocor dimana-mana. Banyak sekali aroma menyan di sekitar pohon besar. Miris jika mengingat desa ini merupakan tempat pelarian dari pasukan Diponegoro saat perang Jawa berlangsung. Pasukan Diponegoro dikenal sholih, hamba Allah yang taat, tetapi kenyataannya tidak dengan keturunan mereka. Aliran kepercayaan sangat kental disini. Bahkan konon pimpinan aliran tersebut berasal dari desa ini. Wajar jika desa ini masih banyak yang meminta kepada pohon.
"Asslamu'alaikum, Kyai. Maaf, sudah saatnya masuk ke kelas siroh", kata seorang santriwati mengingatkan. Dia adalah salah satu santri yang sangat rajin. Meski memiliki sudut pandang berbeda dengan kakeknya dia tetap teguh memperdalam ajaran agama. Tidak pernah bolong sekalipun dalam mengikuti pengajian. Bahkan hafalnnya adalah yang paling bagus dibanding lainnya. Ah... gadis ini, mengingatkanku pada tragedi beberapa tahun lalu.
"Oh, ya.. terimakasih. Saya ambil air wudu dulu sebentar", jawabku. Entah sejak kapan terjadi, tetapi aku sering merasa tidak nyaman kalau mengajar anak-anak tanpa memiliki wudu.
"Hari ini kita akan membahas tentang salah satu sahabat Nabi. Dia memiliki keistimewaan di hadapan Rasulullah. Bahkan Rasulullah pernah memerintahkan kepada Umar untuk mencari Uwais, Rasulullah bersabda, jika ingin dosamu terampuni mintalah tolong kepada Uwais Al Qarni untuk mendoakanmu. Apakah keistimewaan Uwais? Ternyata dia adalah seorang anak laki-laki yang sangat menghormati ibunya. Dia sangat menyayangi ibunya. Hampir semua permintaan sang Ibi selalu dipenuhi olehnya. Hingga suatu ketika Ibunya berkata ingin naik haji. Dia langsung berlatih naik turun bukit dengan menggendong seekor lembu yang beratnya 100 kg. Hal ini dilakukan sebagai bentuk latihan, dia berniat untuk mengajak ibunya berhaji dengan menggendong. Rumah Uwais ada di Yaman. Cukup jauh dari Mekkah. Pasti kalian bertanya, kenapa tidak naik pesawat? Jaman dahulu belum ada pesawat", penjelasanku cuku membuat para anak-anak melongo.
"Tapi, kyai...kenapa tidak memakai onta?", tanya Zulkifar. Salahs seorang santri yang cukup cerdas dan kritis.
"Itu karena, meraka termasuk keluarga fakir. Apa yang dilakukan oleh Uwais ini menjadikannya terkenal di langit. Dia adalah anak yang sangat berbakti kepada ibunya. Sosok yang telah melahirkan dan merawatnya sejak kecil", pungkasku.
Kuedarkan pandangan, kuamati mata mereka satu persatu, Tiba-tiba mataku terhenti di Suryati. Aku melihat linangan air matanya, Tinggal sedikit lagi sepertinya tumpah.
Dingin masih menyelimuti rumah-rumah penduduk di lereng gunung Sumbing. Duduk di depan perapian dengan menyeruput secangkir kopi hitam sambil memakan singkong rebus hangat dan tak ketinggalan satu linting rokok adalah cara paling efektif melawan dingginnya udara sekitar. Tidak dengan lelaki tua itu. Dia masih termenung, duduk di kursi rotang depan rumahnya. Tatapannya tajam menghujam kedepan, urat-urat nampak jelas di raut mukanya. Dia menyimpan banyak sekali amarah dan rasa kecewa.
"Hari ini seharusnya aku sudah berada di Sendang Kamulyan. Mengambil air bersama penduduk desa. Lalu menuju ke lapangan dengan iring-iringan tumpeng dan aneka penganan. Merapalkan doa keselamatan serta keberhasilan. Bukan malah duduk termenung disini", kata hati Mbah Jati.
Mbah Jati merupakan sesepuh desa. Beliau biasanya memimpin acara ruwat rigen. Sebuah acara yang bertujuan untuk meminta kepada Tuhan agar panen tembakau tahun tersebut diberikan kelancaran dan berkah berlimpah. Mereka berharap dengan adanya doa bersama ini akan dijauhkan dari kesialan, selalu diberikan kemudahan dalam proses menanam, memanen, serta mengolah tembakau.
Ruwat Rigen akan diikuti oleh 13 desa di Kecamatan Kledung. Masing-masing desa membawa tumpeng dan juga kesenian yang dimiliki. Sejak pagi saat kabut masih menggelayut para petani tembakau akan berkumpul bersama. Festival budaya yang menyatu dengan alam. Keindahan Sumbing dan Sindoro menjadi daya pikat tersendiri selama ruwatan.
Tetapi semua itu hanyalah kenangan. Setelah kejadian beberapa tahun lalu acara Ruwat Rigen dihentikan. Pemberhentian acara ini tentunya menuai pro dan kontra. Tetapi keputusan sudah tidak dapat diganggu gugat. Mbah Djati selaku tetua kampung tidak dapat berbuat banyak.
"Mbah, unjuane... mumpung tasih anget", suara Suryati memecah lamunan.
"Dokok kono wae ndisik, mbah durung karep", jawab mbah Jati dengan tatapan tetap menuju ke depan.
"Enten nopo, mbah? Sepertinya mbah sedang banyak pikiran?, lembut dan hati-hati Suryati bertanya.
"Aku hanya sedang kangen dengan suasana dahulu saja. Rasanya semua sudah banyak yang berubah. Mbah sudah semakin tua ya, Sur?"
" Ya tua dong mbah, masak semakin muda lo..simbah tu", jawab Suryati
"Ayo, ndang jadi manten. Biar mbah bisa menyaksikan cucu kesayangan naik pelaminan. Mumpung mbah masih sehat lo, nduk", mbah Jati tampak sedang mengalihkan pembicaraan. Dia tidak mau diintimidasi oleh cucunya lebih jauh lagi.
"Nopo to mbah, kulo mlebet riyen nggeh mbah, ajeng umbah-umbah", kata Suryati sambil berlalu meninggalkan kakek kesayangannya. Biasanya kalau si mbah sudah berbicara seperti itu bakal panjang perkaranya. Bukannya aku tidak mau, tapi usiaku masih sangat muda sekali, baru 16 tahun. Misal mau nikah juga harus melalui proses sidang, kan? Lagipula seharusnya aku masuk ke dalam kategori anak usia sekolah yang tidak sekolah.
Meskipun hari ini adalah hari Senin Suryati tidak berangkat sekolah. Dia sudah sekolah sampai bangku SMP. Itupun penuh dengan perjuangan. Bagi masyarakat sini mau sekolah setinggi apapun pada akhirnya akan tetap merawat tembakau. Akhirnya dia hanya cukup sampai SMP. Suryati menerima keputusan Sang Kakek untuk di rumah saja. Merawat lahan dan juga kakeknya. Kedua orang tua Suryati sudah lama meninggal. Dia hidup bersama dengan kakeknya. Meskipun kedua orang tuanya telah tiada dia tidak mengetahui dimana makamnya. Mbah Jati tidak pernah mengajaknya untuk berziarah ke makam kedua orang tuanya. Tetapi, dia cukup mensyukuri atas apa yang dimiliki sekarang. Seorang kakeng yang sangat penyayang meski sering beda pandangan.