Part sebelumnya menceritakan dua tokoh dalam cerbung ini, yaitu Mbah Djati dan Suryati. Seorang kakeng dan cucunya yang hidup bersama karena orang tua Suryati telah tiada. Namun, ada satu yang ganjil, sampai usia yang ke-16 Suryati belum pernah melihat makan kedua orang tuanya.
----
Suara anak-anak riuh bekejaran. Setelah tegang antri hafalan hadits arbain ke-2 akhirnya mereka bisa melepas tawanya kembali. Di sisi serambi bagian utara tampak sekelompok anak putri asyik membaca buku waqaf dari para dermawan. Anak-anak sangat menyukainya karena buku berwarna, kertas bagus, dan gaya bahasa masuk ke mereka. Tingkah polah mereka seolah menggambarkan perilaku manusia. Bisa saja ujiannya sama, tetapi proses untuk melupakan dan menyembuhkan sisa kegelisahan berbeda. Ada yang berteriak lalu berlarian, ada pula yang menekur dalam sepi lalu mengeja bacaan.
Sekarang mereka sudah memiliki kegiatan rutin sepulang sekolah. Belajar membaca Al Qur'an, hafalan, mendengarkan cerita para sahabat Nabi. Suasana ini tentu sangat berbeda dengan 17 tahun yang lalu. Saat aku menginjakkan kaki pertama kali di tanah ini. Bahkan langgar pun hanya terbuat dari batang bambu yang sudah reot dengan atap genteng bocor dimana-mana. Banyak sekali aroma menyan di sekitar pohon besar. Miris jika mengingat desa ini merupakan tempat pelarian dari pasukan Diponegoro saat perang Jawa berlangsung. Pasukan Diponegoro dikenal sholih, hamba Allah yang taat, tetapi kenyataannya tidak dengan keturunan mereka. Aliran kepercayaan sangat kental disini. Bahkan konon pimpinan aliran tersebut berasal dari desa ini. Wajar jika desa ini masih banyak yang meminta kepada pohon.
"Asslamu'alaikum, Kyai. Maaf, sudah saatnya masuk ke kelas siroh", kata seorang santriwati mengingatkan. Dia adalah salah satu santri yang sangat rajin. Meski memiliki sudut pandang berbeda dengan kakeknya dia tetap teguh memperdalam ajaran agama. Tidak pernah bolong sekalipun dalam mengikuti pengajian. Bahkan hafalnnya adalah yang paling bagus dibanding lainnya. Ah... gadis ini, mengingatkanku pada tragedi beberapa tahun lalu.
"Oh, ya.. terimakasih. Saya ambil air wudu dulu sebentar", jawabku. Entah sejak kapan terjadi, tetapi aku sering merasa tidak nyaman kalau mengajar anak-anak tanpa memiliki wudu.
"Hari ini kita akan membahas tentang salah satu sahabat Nabi. Dia memiliki keistimewaan di hadapan Rasulullah. Bahkan Rasulullah pernah memerintahkan kepada Umar untuk mencari Uwais, Rasulullah bersabda, jika ingin dosamu terampuni mintalah tolong kepada Uwais Al Qarni untuk mendoakanmu. Apakah keistimewaan Uwais? Ternyata dia adalah seorang anak laki-laki yang sangat menghormati ibunya. Dia sangat menyayangi ibunya. Hampir semua permintaan sang Ibi selalu dipenuhi olehnya. Hingga suatu ketika Ibunya berkata ingin naik haji. Dia langsung berlatih naik turun bukit dengan menggendong seekor lembu yang beratnya 100 kg. Hal ini dilakukan sebagai bentuk latihan, dia berniat untuk mengajak ibunya berhaji dengan menggendong. Rumah Uwais ada di Yaman. Cukup jauh dari Mekkah. Pasti kalian bertanya, kenapa tidak naik pesawat? Jaman dahulu belum ada pesawat", penjelasanku cuku membuat para anak-anak melongo.
"Tapi, kyai...kenapa tidak memakai onta?", tanya Zulkifar. Salahs seorang santri yang cukup cerdas dan kritis.
"Itu karena, meraka termasuk keluarga fakir. Apa yang dilakukan oleh Uwais ini menjadikannya terkenal di langit. Dia adalah anak yang sangat berbakti kepada ibunya. Sosok yang telah melahirkan dan merawatnya sejak kecil", pungkasku.
Kuedarkan pandangan, kuamati mata mereka satu persatu, Tiba-tiba mataku terhenti di Suryati. Aku melihat linangan air matanya, Tinggal sedikit lagi sepertinya tumpah.