Tusuk Konde Part 5 (Pencarian)



Punggung Kyai Mojo semakin jauh. Aku masih duduk di serambi. Mencerna apa saja informasi yang aku dapatkan. Aku cukup lega, karena Bapak dan Ibuk menurut cerita itu adalah orang baik. Dan ternyata beliau berdua adalah muslim.

--
Saatnya aku pulang. Meski hari masih sore tapia gelap sudah mulai datang. Matahari sudah bersembunyi sedari tadi. Kabut pekat dan dingin sudah mulai turun. Butuh penerangan untuk menembus jalan.

Hari ini aku cukup bahagia mendengar penuturan Kyai Mojo. Satu hal yang akan aku lakukan. Mencari jejak ayah dan ibuku di rumah. Aku yakin, kakek pasti menyimpan sesuatu sebagai petunjuk. Barang ibuku atau sukur-sukur fotonya ada disimpan kakek. Tidak mungkin aku bertanya langsung kepada kakek. Kalau melihat hubungan di masa lalu sepertinya kakek marah dan kecewa dengan ibuku. Tapi sekaligus menjadi tanda tanya, kenapa kakek sangat baik denganku. Bahkan ketika akhirnya aku memilih untuk menjadi muslimah ekspresi kakek hanya marah sehari namun kemudian membiarkan aku terus belajar. Meski beliau akan diam dan bersikap dingin setiap aku pergi ke langgar untuk belajar agama dengan kyai Mojo.

"Kulo nuwun, Mbah...", Salamku saat berada di depan pintu. Iya, tidak dengan ucapan salam seperti biasanya, kan kakekku tidak berkenan aku melakukan itu.

"Eh, ada tamu, to? Monggo Pak De..", ternyata di dalam kakekku tidak sendiri, beliau sedang bersama Pak De Tejo. Saudara sepupu ibu dari garis Mbah Jati.

"Iyo, Nduk. Darimana? Kok baru pulang?", Tanyanya

"Biasa dia, sudah kena bujuk rayu si Mojo pendatang itu. Belajar dia sama dia", jawab kakekku dengan nada tidak suka.

"Lhohhh....", Singkat tapi padat dan bermakna apalagi disertai mata yang terbelalak dari Pakde Tejo.

Aku hanya bisa tersenyum tipis dan miris. "Eh, belum ada minum, sebentar njeh Pakde", kataku coba untuk mengalihkan perhatian.

Aku yakin, setelah ini Mbah Jati, kakekku pasti akan menceritakan segala hal buruk tentang kyai Mojo. Seperti biasa, akan mengungkit tentang pendatang yang ingin mengubah tatanan. Baru juga datang sudah memprovokasi warga untuk tidak melakukan ruwat rigen. Terlalu banyak kemusyrikan katanya. Mbah Jati sering bilang bahwa, para wali saja yang menjadi pendahulunya mau meleburkan diri dengan budaya masyarakat. Lah, Kyai MoJo... terlalu kaku untuk diterima di masyarakat pada awalnya.

"Monggo, Pakde..." Tawarku kepada sepupu kakek ini. Sekaligus memotong cerita kakak.
"Tidak duduk sini dulu, Sur?", Tanya pakde.
"Saya masih harus mengerjakan banyak tugas, pakde"
"Tugas apa? Tugas dari Mojo?", Kalimat pakde penuh introgasi. 
"Bukan, pakde. Saya sedang ikut kejar paket. Biar pinter dan bisa mencari pekerjaan nantinya", tetap kucoba tersenyum menanggapi pertanyaan pakde.

Aku tinggalkan dua sepupu itu untuk meneruskan ceritanya. Mumpung kakek masih bercerita di ruang depan ini saatnya aku menjalankan misi. Mencari apapun itu. Aku coba masuk kamar kakek. Tidak sopan memang yang aku lakukan ini. Tetapi tidak ada jalan lain. Aku harus menemukan jejak dari kedua orangtuaku. Tidak mungkin aku terlahir dari batu. Pasti ada rahim yang melahirkan ku. Dan itu adalah putri dari Mbah Jati. 
Misi pertamaku adalah mencari kartu keluarga atau dokumen lain. Sebagi informasi, aku belum tau siapa namanya. Tadi sore kyai Mojo belum menceritakan padaku 

Dengan perlahan aku mulai menggeledah isi lemari. Meskipun aku yang biasa mencuci dan melipat baju Kakek, tetapi tidak pernah boleh menata baju di lemarinya. Ora elok, katak Kakek. Menurut kakek tidak etis jika seorang cucu masuk ke kamar kakeknya. Ada satu kotak hitam, ternyata isinya adalah tusuk konde. Aku tidak mengerti, apa ini? Dibawahnya ada selembar kertas foto. Seorang wanita dengan rambut di sanggul dan menggunakan tusuk konde ini. Dia cantik, apakah dia ibuku?
Read More

Hutang adalah Hutang



Terkadang kita harus berhati-hati dengan lintasan pikiran kita. Baru saja tadi kepikiran, ih kalau di ODOP buat cerbung terus jadinya spaneng nih mengelola blog. Boleh kali ya, sesekali up date blog dua kali. Satunya lanjutan part cerbung satunya memang tulisan untuk melepas lelah dan penat. Baru banget tadi siang kepikiran seperti itu, tiba-tiba malam ini buka grup SSD mendapatkan infromasi bahwa semua hutang harus dibayar meskipun, poin mencukupi. Auto inget dong, ada satu atau dua tulisan yang belum dibayar. Ini lagi, pakai acara lupa berapa jumlah hutangnya. Kayaknya satu deh, ah perlu di cek ini.

Dalam islam, yang namanya hutang tetap harus dibayar. Bahkan Allah tidak akan mengampuni seseorang yang belum membayar hutang meskipun dirinya mati syahid. Adil sih ini, karena akadnya tetap pinjam. Kita tidak pernah tau apa yang terjadi pada pemberi piutang setelah meminjamkan uangnya. Bisa jadi itu adalah tabungannya setelah sekian lama, kemudian dia menunda hajatnya karena ingin menolong kita. Bisa jadi itu adalah laba yang disisihkan sedikit demi sedikit dan ingin dijadikan penambah modal usaha. Jahat banget jatuhnya kalau yang dipinjami tidak membayar hutangnya. Apabila kita meminjam secara baik-baik alangkaj bijaksananya jika kita juga berusaha untuk mengembalikan dengan baik

 Akhir-akhir ini kita menemui sebuah fenomena dimana pemberi pinjaman malah menjadi seperti orang yang meminta sesuatu. Sudah berbagai macam cara dilakukan tetapi tetap uangnya tidak juga dikembalikan. Saat terjadi aktivitas pinjam meminjam ada baiknya ada akad di antara kedua belah pihak. Terutama mengenai kapan hutang itu akan dibayarkan. Pastikan juga saat melakukan pinjam meminjam tidak ada riba di dalamnya. Dosanya kan ngeri banget.

Saking perhatiannya Allah mengenai hutang piutang ini ada satu ayat panjang sekali yang menjelaskan mengenai tata cara uatang piutang. Ada satu insight yang mengena banget, jika kita memiliki hutang maka catatlah. Hal ini agar kita tidak lupa dengan hutang yang kita miliki. Besar ataupun kecil hutang tetaplah hutang. Seperti tulisan saya di tantangan ODOP, meski poin mencukupi untuk tidak di kick tetap saja kan, namanya hutang. Lunas yaaa.

 

Read More

Tusuk Konde Part 4 (Titik Terang Pertama)



Waktu itu, saat aku masih berusia sekitar lima tahun aku bertemu beliau. Aku sedang menaruh sesaji di dekat pohon besar dekat sendang. Kyai baru saja mengambil air wudu. Dari kejauhan aku mengamatinya. Satu persatu gerakan kulihat, aku sangat takjub melihatnya. Selang beberapa lama kemudian, beliau menggelar sajadah di pinggiran. Melaksanakan sholat dengan khusuk. Kulihat lagi lebih dalam. Beliau sedang menangis sesenggukan seperti sedang mengajukan hajat sambil menengadahkan kepala. Syahdu dan semakin sejuk. Belum pernah aku melihat prosesi sembahyang sehebat itu. Bahkan kakekku yang katanya paling baik di antara pengikut kepercayaan yang lain tidak pernah sedahsyat ini getarannya dalam dadaku.

--
Pertemuan kali ini ditutup manis dengan kisah hidup Uwais al-Qarni. Tidak harus dengan menggendong sapi naik turun gunung, cukup dengan menjadi anak sholih dan baik kita bisa menjadi penerang saat di akhirat nanti. Tetap saja ada pertanyaan dalam diriku, apakah kedua orang tuaku seorang muslim? Kadang ngeri sendiri membayangkan ini.

"Sur, kita bicara di serambi timur, ya", kata Kyai Mojo saat aku sedang menata alat tulis.

Tanpa ba-bi-bu aku langsung mengekor kyai Mojo. Berasa campur aduk perasaanku, tapi aku cukup senang diajak bicara dengan Kyai Mojo. Artinya aku punya kesempatan untuk mencari petunjuk mengenai kedua orangtuaku.

"Tadi kami kenapa, Nduk? Sepertinya gelisah dan raut mukamu menunjukkan kesedihan mendalam", kalimat pembuka dari Kyai Mojo yang membuat aku harus menarik nafas terlebih dahulu sebelum menjawabnya.

"Begini, pak Yai. Sewaktu njenengan cerita tentang bakti seorang anak kepada ibunya, tiba-tiba saya ingat dengan bapak dan ibuk. Dua orang yang harusnya paling saya cintai setelah Allah dan Rasul-Nya tetapi saya benar-benar buta mengenai keduanya. Bahkan, makamnya dimana saya tidak tahu. Bagaimana bisa kedua orang tua saya meninggal? Muslimah mereka? Atau seperti Mbah Kakung?", Isakku mulai memecam keheningan.

Pak kyai tampak menatapku tajam tetapi sorot matanya masih menyimpan beberapa luka. 

"Apakah pak kyai dapat memberi infomaasi tambahan memgenai ayah saya?" tatapanku menyimpan seribu bahasa. 

"Apakah selama ini kamu belum pernah mendengar alasan mereka menghilang?"

"Belum, Yai", jawabku singkat

"Baik, aku akan menceritakan tentang ayah dan ibumu". 

"Ibumu adalah seorang gadis desa cantik dengan paras rupawan. Siapapun yang melihatnya pertama kali pasti akan tunduk dan bisa memberikan apapun diminta. Kehidupannya normal, sampai kemudian dia berusia untuk mencari jalan Tuhan, disinilah anak itu bisa tinggal. Sedangkan ayahmu adalah teman perjuanganku. Kami berdua saling support dalam mendakwahkan aja. Hingga suatu waktu mereka bertemu dan berlanjut kepada hal serius, pernikahan". jelas Kyai Mojo.

"Jadi, bapak dan ibuk saya seorang muslim yang taat?" Tanyaku.

"Ya, mereka berdua adalah hamba Allah yang sangat taat. Mereka baik dan saling menyayangi, tetapi terhalang restu kakekmu. Tapi, bapak ibumu nekat tetap melakukan pernikahan", sambung kyai Mojo

"Kyai, nuwun ngapunten. Wonten tamu madosi penjenengan", kata mbak Santi menyampaikan pesan.

"Owh baiklah, minta menunggu sebentar ya. Saya sedang ada perlu dengan ponakan tercinta". Jawab kyai Mojo

"Sur, perbincangan kita hari ini sudah dulu ya. Lain waktu kita sambung lagi".

"Baik pak Kyai", jawabku.

Punggung Kyai Mojo semakin jauh. Aku masih duduk di serambi. Mencerna apa saja informasi yang aku dapatkan. Aku cukup lega, karena Bapak dan Ibuk menurut cerita itu adalah orang baik. Dan ternyata beliau berdua adalah muslim.
Read More

Tusuk Konde Part 3 (Campuran Masa Lalu)



POV Suryati

Mendengar penjelasan Kyai Mojo hatiku menjadi tidak karuan. Rasanya ingin teriak dan meluapkan segala rasa yang membuncah. Aku benar-benar isi dengan Uwais Al Qarni. Meskipun hal yang dilakukannya berat, paling tidak dia masih bisa berbincang dengan ibunya. Masih bisa memuliakannya, masih bisa merasakan hangatnya pelukan. Aku, si gadis desa biasa benar-benar menantikan keajaiban mengenai kabar dari kedua orang tuaku. Tak terima rasanya dengan rencana takdir Allah, tak adil jika seperti ini, aku menjadi yatim piatu sejak lahir. Harus hidup dengan seorang kakek yang tidak mengerti ilmu agama. Bahkan ketika dikonfirmasi ternyata beliau adalah pemimpin aliran kepercayaan. Sudah jelas tidak mungkin aku bisa seperti Uwais, yang mengajak orang tuanya menyempurnakan rukun Islam.

Arghh seandainya ibuku masih ada pasti aku akan mencoba membawa sapi naik turun gunung Sumbing. Aku ingin berlatih agar kuat membawa ibuku. Aku sangat ingin menjadi anak berbakti, aku ingin membasuh kaki ibu, menyiapkan teh panas untuk bapak. Allah, tidak berhakkah aku menjadi manusia sewajarnya? Seperti teman-teman lainnya? Bahkan sampai hari ini nyekar ke makamnya saja belum. Hanya merapalkan doa di akhir sholat untuk mereka. 

Kenapa semua orang di desa ini seolah menutupi tentang orang tuaku. Apa salah mereka pada desa ini? Setiap aku mencoba bertanya tentang kedua orangtuaku langsung seketika mengalihkan pembicaraan. Bukan hanya kakekku bahkan kyai Mojo juga begitu. Aku sekarang sudah besar, aku yakin pasti bisa menerima kenyataan. 

Apakah ayah dan ibuku tiada tanpa meninggalkan jasad? Sampai tidak ada makam beliau berdua? Aku perlu mencari petunjuk semua misteri itu sendiri. Bulan depan aku sudah berusia 17 tahun. Aku sudah besar, aku berhak tau semuanya. Tentang masa laluku, orang tuaku.

---

"Sur, kamu kenapa?", Kyai Mojo menghentikan penjelasannya, dan menatapku penuh tanda tanya. Ah...iya, ternyata mataku terasa panas. Sedikit lagi sudah menganak sungai. 

"Tidak apa-apa, Kyai", bergetar suaraku.

"Yakin?", tanya kyai menyelidik

"Iya", jawabku lirih

"Nanti setelah pertemuan hari ini selesai kita bicara sebentar, ya", kata kyai lembut. 

Aku cukup beruntung bisa bertemu dengan kyai Mojo ini. Banyak ilmu tentang kehidupan yang aku dapatkan dari beliau. Melalui beliaulah akhirnya aku bisa mengenal Islam dan mempelajari Al Qur'an dengan baik. Ketulusan dan keikhlasan beliau dalam menyampaikan risalah membuat beberapa mata hati penduduk desa ini untuk menerima cahaya Illahi. 

Waktu itu, saat aku masih berusia sekitar lima tahun aku bertemu beliau. Aku sedang menaruh sesaji di dekat pohon besar dekat sendang. Kyai baru saja mengambil air wudu. Dari kejauhan aku mengamatinya. Satu persatu gerakan kulihat, aku sangat takjub melihatnya. Selang beberapa lama kemudian, beliau menggelar sajadah di pinggiran. Melaksanakan sholat dengan khusuk. Kulihat lagi lebih dalam. Beliau sedang menangis sesenggukan seperti sedang mengajukan hajat sambil menengadahkan kepala. Syahdu dan semakin sejuk. Belum pernah aku melihat prosesi sembahyang sehebat itu. Bahkan kakekku yang katanya paling baik di antara pengikut kepercayaan yang lain tidak pernah sedahsyat ini getarannya dalam dadaku.

Aku mendekati Kyai, lalu saat itu ada perbincangan hangat. Hingga akhirnya aku mengerti dan rasanya lebih logis dan jelas pelajaran sang Kyai. Mulai hari itu aku mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi murid wanita pertama kyai.

Mungkin saat aku bicara dengan kyai, aku ingin bertanya kepada beliau mengenai orang tuaku. Konon beliau ke desa ini setahun sebelum aku lahir. Jadi, pasti Kyai tahu cerita tentang orang tuaku.

Read More

Tusuk Konde part 2 (Kyai Mojo)



 Part sebelumnya menceritakan dua tokoh dalam cerbung ini, yaitu Mbah Djati dan Suryati. Seorang kakeng dan cucunya yang hidup bersama karena orang tua Suryati telah tiada. Namun, ada satu yang ganjil, sampai usia yang ke-16 Suryati belum pernah melihat makan kedua orang tuanya.

----

Suara anak-anak riuh bekejaran. Setelah tegang antri hafalan hadits arbain ke-2 akhirnya mereka bisa melepas tawanya kembali. Di sisi serambi bagian utara tampak sekelompok anak putri asyik membaca buku waqaf dari para dermawan. Anak-anak sangat menyukainya karena buku berwarna, kertas bagus, dan gaya bahasa masuk ke mereka. Tingkah polah mereka seolah menggambarkan perilaku manusia. Bisa saja ujiannya sama, tetapi proses untuk melupakan dan menyembuhkan sisa kegelisahan berbeda. Ada yang berteriak lalu berlarian, ada pula yang menekur dalam sepi lalu mengeja bacaan.

Sekarang mereka sudah memiliki kegiatan rutin sepulang sekolah. Belajar membaca Al Qur'an, hafalan, mendengarkan cerita para sahabat Nabi. Suasana ini tentu sangat berbeda dengan 17 tahun yang lalu. Saat aku menginjakkan kaki pertama kali di tanah ini. Bahkan langgar pun hanya terbuat dari batang bambu yang sudah reot dengan atap genteng bocor dimana-mana. Banyak sekali aroma menyan di sekitar pohon besar. Miris jika mengingat desa ini merupakan tempat pelarian dari pasukan Diponegoro saat perang Jawa berlangsung. Pasukan Diponegoro dikenal sholih, hamba Allah yang taat, tetapi kenyataannya tidak dengan keturunan mereka. Aliran kepercayaan sangat kental disini. Bahkan konon pimpinan aliran tersebut berasal dari desa ini. Wajar jika desa ini masih banyak yang meminta kepada pohon.

"Asslamu'alaikum, Kyai. Maaf, sudah saatnya masuk ke kelas siroh", kata seorang santriwati mengingatkan. Dia adalah salah satu santri yang sangat rajin. Meski memiliki sudut pandang berbeda dengan kakeknya dia tetap teguh memperdalam ajaran agama. Tidak pernah bolong sekalipun dalam mengikuti pengajian. Bahkan hafalnnya adalah yang paling bagus dibanding lainnya. Ah... gadis ini, mengingatkanku pada tragedi beberapa tahun lalu.

"Oh, ya.. terimakasih. Saya ambil air wudu dulu sebentar", jawabku. Entah sejak kapan terjadi, tetapi aku sering merasa tidak nyaman kalau mengajar anak-anak tanpa memiliki wudu.

 

"Hari ini kita akan membahas tentang salah satu sahabat Nabi. Dia memiliki keistimewaan di hadapan Rasulullah. Bahkan Rasulullah pernah memerintahkan kepada Umar untuk mencari Uwais, Rasulullah bersabda, jika ingin dosamu terampuni mintalah tolong kepada Uwais Al Qarni untuk mendoakanmu. Apakah keistimewaan Uwais? Ternyata dia adalah seorang anak laki-laki yang sangat menghormati ibunya. Dia sangat menyayangi ibunya. Hampir semua permintaan sang Ibi selalu dipenuhi olehnya. Hingga suatu ketika Ibunya berkata ingin naik haji. Dia langsung berlatih naik turun bukit dengan menggendong seekor lembu yang beratnya 100 kg. Hal ini dilakukan sebagai bentuk latihan, dia berniat untuk mengajak ibunya berhaji dengan menggendong. Rumah Uwais ada di Yaman. Cukup jauh dari Mekkah. Pasti kalian bertanya, kenapa tidak naik pesawat? Jaman dahulu belum ada pesawat", penjelasanku cuku membuat para anak-anak melongo.

 "Tapi, kyai...kenapa tidak memakai onta?", tanya Zulkifar. Salahs seorang santri yang cukup cerdas dan kritis.

"Itu karena, meraka termasuk keluarga fakir. Apa yang dilakukan oleh Uwais ini menjadikannya terkenal di langit. Dia adalah anak yang sangat berbakti kepada ibunya. Sosok yang telah melahirkan dan merawatnya sejak kecil", pungkasku.

Kuedarkan pandangan, kuamati mata mereka satu persatu, Tiba-tiba mataku terhenti di Suryati. Aku melihat linangan air matanya, Tinggal sedikit lagi sepertinya tumpah.


Read More

Tusuk Konde : Part 1 Ruwat Rigen



Dingin masih menyelimuti rumah-rumah penduduk di lereng gunung Sumbing. Duduk di depan perapian dengan menyeruput secangkir kopi hitam sambil memakan singkong rebus hangat dan tak ketinggalan satu linting rokok adalah cara paling efektif melawan dingginnya udara sekitar. Tidak dengan lelaki tua itu. Dia masih termenung, duduk di kursi rotang depan rumahnya. Tatapannya tajam menghujam kedepan, urat-urat nampak jelas di raut mukanya. Dia menyimpan banyak sekali amarah dan rasa kecewa. 

"Hari ini seharusnya aku sudah berada di Sendang Kamulyan. Mengambil air bersama penduduk desa. Lalu menuju ke lapangan dengan iring-iringan tumpeng dan aneka penganan. Merapalkan doa keselamatan serta keberhasilan. Bukan malah duduk termenung disini", kata hati Mbah Jati. 

Mbah Jati merupakan sesepuh desa. Beliau biasanya memimpin acara ruwat rigen. Sebuah acara yang bertujuan untuk meminta kepada Tuhan agar panen tembakau tahun tersebut diberikan kelancaran dan berkah berlimpah. Mereka berharap dengan adanya doa bersama ini akan dijauhkan dari kesialan, selalu diberikan kemudahan dalam proses menanam, memanen, serta mengolah tembakau.

Ruwat Rigen akan diikuti oleh 13 desa di Kecamatan Kledung. Masing-masing desa membawa tumpeng dan juga kesenian yang dimiliki. Sejak pagi saat kabut masih menggelayut para petani tembakau akan berkumpul bersama. Festival budaya yang menyatu dengan alam. Keindahan Sumbing dan Sindoro menjadi daya pikat tersendiri selama ruwatan.

Tetapi semua itu hanyalah kenangan. Setelah kejadian beberapa tahun lalu acara Ruwat Rigen dihentikan. Pemberhentian acara ini tentunya menuai pro dan kontra. Tetapi keputusan sudah tidak dapat diganggu gugat. Mbah Djati selaku tetua kampung tidak dapat berbuat banyak. 

"Mbah, unjuane... mumpung tasih anget", suara Suryati memecah lamunan.

"Dokok kono wae ndisik, mbah durung karep", jawab mbah Jati dengan tatapan tetap menuju ke depan.

"Enten nopo, mbah? Sepertinya mbah sedang banyak pikiran?, lembut dan hati-hati Suryati bertanya.

"Aku hanya sedang kangen dengan suasana dahulu saja. Rasanya semua sudah banyak yang berubah. Mbah sudah semakin tua ya, Sur?"

" Ya tua dong mbah, masak semakin muda lo..simbah tu", jawab Suryati

"Ayo, ndang jadi manten. Biar mbah bisa menyaksikan cucu kesayangan naik pelaminan. Mumpung mbah masih sehat lo, nduk", mbah Jati tampak sedang mengalihkan pembicaraan. Dia tidak mau diintimidasi oleh cucunya lebih jauh lagi.

"Nopo to mbah, kulo mlebet riyen nggeh mbah, ajeng umbah-umbah", kata Suryati sambil berlalu meninggalkan kakek kesayangannya. Biasanya kalau si mbah sudah berbicara seperti itu bakal panjang perkaranya. Bukannya aku tidak mau, tapi usiaku masih sangat muda sekali, baru 16 tahun. Misal mau nikah juga harus melalui proses sidang, kan? Lagipula seharusnya aku masuk ke dalam kategori anak usia sekolah yang tidak sekolah.

Meskipun hari ini adalah hari Senin Suryati tidak berangkat sekolah. Dia sudah sekolah sampai bangku SMP. Itupun penuh dengan perjuangan. Bagi masyarakat sini mau sekolah setinggi apapun pada akhirnya akan tetap merawat tembakau. Akhirnya dia hanya cukup sampai SMP. Suryati menerima keputusan Sang Kakek untuk di rumah saja. Merawat lahan dan juga kakeknya. Kedua orang tua Suryati sudah lama meninggal. Dia hidup bersama dengan kakeknya. Meskipun kedua orang tuanya telah tiada dia tidak mengetahui dimana makamnya. Mbah Jati tidak pernah mengajaknya untuk berziarah ke makam kedua orang tuanya. Tetapi, dia cukup mensyukuri atas apa yang dimiliki sekarang. Seorang kakeng yang sangat penyayang meski sering beda pandangan.

 

                                                                                     

Read More

Manfaat dan Cara Membuat Sayur Batang Talas (Lompong)



Yeaaay, mau bayar utang ODOP, nih! Nggak penting banget emang buat diceritakan. Tapi lumayan kan buat tambah-tambah kata biar jadi 500 wkwk. Setelah galau menentukan pembahasan, akhirnya pilihan jatuh kepada lompong. Apaan tuh? Lompong adalah sebutan bagi batang talas. Biasanya bagian dari talas ini digunakan oleh masyarakat di Temanggung sebagai sayur. Rasanya unik dan numani pokoknya. Dimakan hangat-hangat denga nasi jagung dan ikan asin ditepungi yang kemripik, rasanya nagih banget. 

Ternyata, lompong yang biasa dijadikan sayur oleh orang-orang desa ini memilki banyak sekali kandungan dan manfaatnya. Lompong mengandung kalium yang sangat berperan dalam menstabilkan detak jantung. So, makanan ini baik untuk dikonsumsi penderita sakit jantung. Kandungan serat dalam lompong juga terbilang cukup tinggi. Sehingga, dapat membantu pencernaan. Kandungan Saponin pada lompong bermanfaat dalam penyembuhan luka luar. Pantas saja, para petani di daerahku kalau pas merncari rumput terkena sabit mereka akan memakai keluasan kulit sebagai pembalut luka.

Selain itu, dalam 100 gram lompong mengandung energi sebesar 40 kkal, karbohidrat 7,4 gram, lemak 0,8 gram, protein 3 gram, kalsium 76 mg, fosfor 59 mg, dan zat besi 1 mg. Selain itu lompong juga mengandung vitamin A sebanyak 2000 IU, vitamin B1 0,08 mg, dan vitamin C 31 mg. 

Wah, ternyata masakan yang selama ini dianggap biasa saja oleh penduduk desa memiliki nilai gizi yang luar biasa. Kalau kata ibuku, untuk memetik batang lompong yang bagus itu diambil dari ruas urutan tiga dari bawah. Selain itu diambil saat musim penghujan. Biasanya tidak akan gatal.

Bagaimana cara memasaknya? 
1. Siapkan lompong sebagai bahan utama
2. Daun so
3. Tempe lanas (tempe yang udah Mateng banget)
3. Ebi
4. Bawang Merah
6. Salam
7. Laos
8. Cabai merah (opsional)
9. Gula
10. Garam
11. Penyedap rasa
12. Minyak
13. Santan

Langkah-langkah
1. Cuci lompong
2. Potong lompong sepanjang kurang lebih 3 cm. Sebelum dipotong jika ada daging tipis bisa dihilangkan terlebih dahulu
3. Potong barang merah dan cabai
4. Geprek laos
5. Panaskan api, lalu masukkan bawang merah. Setelah harum masukkan cabai, ebi, salam, Laos, dan tempe lanas 
6. Masukkan lompong lalu di aduk
7. Masukkan daun so, tunggu sampai lompong layu
8. Masukkan santan kemudian taburi gula, garam, dan penyedap
9. Tunggu sampai mendidih, cicipi rasa
10. Sayur lompong siap dihidangkan

Menurut resep rahasia ibuku, elemen penting dalam memasak lompong agar tetap hijau adalah penggunaan tempe lanas dan juga ebi. Jika berkunjung ke Temanggung tidak banyak warung makan yang menyediakan menu ini. Biasanya warung makan di pinggiran akan menawarkan menu jangan lompong dan Sego jagung. Ditambah dengan ikan asin layur yang sudah dibungkus dengan tepung beras, sehingga menimbulkan sensasi renyah.

Generasi muda juga sudah banyak yang tidak mengenal masakan ini. Bahkan menganggap masakan ini sebagai masakan yang tidak level jika dibandingkan dengan menu-menu cafe. Sudah dipastikan banyak anak muda yang tidak bisa memasak menu ini. Memang sih, ini masakan khas Jawa banget. Dan yang pasti juga ribet, tetapi dengan pengolahan dan penyajian menarik masakan ini pasti bisa naik level.

Ih.. pengen deh ada lomba masak kreasi batang talas. Dibuat seperti master chef gitu. Aku yakin generasi muda pasti akan tertarik apabila melihat kandungan gizi dan manfaat dari lompong. 


Read More

Banyak Dilihat

Pengikut

Pengunjung

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Labels

inspirasi tania. Diberdayakan oleh Blogger.