Beberapa hari ini tidak berkutat dengan tulisan ini. Eh, bukan tulisan nding... cuma nyupliki dari berbagai macam sumber aja. Bagi yang baca kalau bisa ngasih masukan tentang tahun-tahunnya masih sangat ditunggu loh.... Maklum, orang jurusan Fisika yang terpaksa merangkai mozaik sejarah he. Fokus tulisan ini adalah Kota Parakan yang merupakan salah satu kota tua di Temanggung dan menjadi saksi pertumbuhan Kabupaten Temanggung.
Masa kesejarahan dari Parakan dimulai dari masa Mataram Kuno, Mataram Islam (lebih banyak mengungkap kedatangan etnis Tionghoa ke Parakan), Penjajahan Belanda, Penjajahan Jepang dan Perang Kemerdekaan, dan Paska Kemerdekaan. Berikut uraian penjelasannya:
2.1.2.1. Masa Mataram Kuno (Hindu) (732
M-1700 M)
Berdasarkan catatan sejarah Nugroho Notosusanto daerah Parakan merupakan sima atau semacam tanah hibah pada masa Mataram Kuno. Beberapa peninggalan berupa
prasasti dan candi bisa ditemui di sekitar wilayah Parakan, di antaranya Candi Gondosuli yang berada di Bulu, Temanggung dan Prasasti Wanua I Rukan di desa Petarongan
Kecamatan Parakan. Salah satu sumber
sejarah menyebutkan bahwa asal mula nama Parakan dari kata Para Rakai, konon
pada jaman Mataram Kuno di daerah ini banyak para Rakai. Parakan menjadi pusat
Kota Sima yang pendetanya paling disucikan. Pada masa ini, setelah umat Hindu
melakukan ritual di gunung Dieng akan singgah ke Parakan dan meminta petunjuk
kepada Rakai yang ada di Parakan.
2.1.2.2. Masa Mataram Islam (1700-1800)
Pada masa Mataram Islam ini bersamaan dengan
datangnya masyarakat Cina ke Parakan. Salah satu dari 3 orang pelarian Cina
bernama Lauw Djing Tie menetap dan mengembangkan perguruan Saolin. Pusat
perguruan Saolin sekaligus konsentrasi pemukiman warga Tionghoa ada di Gambiran
atau di Sebo Karang. Pada masa itu, Lauw Djing Tie bersaing dengan pendekar
lokal Kauman. Mereka sempat bertarung untuk membuktikan kedigdayaan masing-masing.
Pendekar Saolin ini akhirnya kalah, kemudian masyarakat Tiong Hoa di sana mulai
belajar hidup berdampingan dengan rukun dengan masyarakat pribumi. Pemikiran
masyarakat pribumi pada akirnya juga terpengaruh dengan banyaknya masyarakat
Tiong Hoa di sana. Masyarakat pribumi menjadi lebih terbuka dengan kebudayaan
dari luar dan lebih berpikiran luas untuk belajar dari orang lain.
Masyarakatnya begitu mengabdi kepada sang raja yang
bertahta. Bangunan yang masih ada sebatas perumahan tradisional dengan denah yang
sederhana dan dinding kebanyakan dari anyaman bambu (gedhek, bahasa Jawa) dengan atap limasan atau pelana (dara sepak). Untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari masyarakat melakukan aktivitas ekonomi di pasar Krempyeng yang buka
mulai jam 06.00 – 10.00. Pasar Krempyeng ini menempati bagian kosong dari
kawasan pecinan.
Kehadiran bangsa Cina ke Parakan memberikan
pengaruh baik pengaruh secara fisik maupun non fisik.
1.
Pengaruh Fisik
a. Perumahan
/ Hunian
Pada tahun 1700 ada beberapa pendatang yang membuat bangunan rumah tinggal dengan gaya
arsitektur Cina. Berikut nama-nama orang Cina yang membangung rumah dengan
arsitktur Cina:
1)
Tahun 1700: Siek Kian Ing
2)
Tahun 1703: Tiong Tiam Tjing (Tony)
3)
Tahun 1790: GoHong Ging
4)
Tahun 1793: Seik Siang I
b.
Fasilitas Umum
a)
Fasilitas Peribadatan
1.
Klenteng
Klenteng
sudah ada, tetapi kondisinya masih sangat sederhana. Bangunan ini berfungsi
sebagai tempat ibadah orang beragama Budha
2.
Masjid
Tidak
ada masjid yang mendapatkan pengaruh Cina dalam arsitekturnya.
3.
Gerja
b)
Fasilitas Pendidikan
c)
Fasilitas Kontak Sosial dan Olah Raga
d)
Fasilitas Perdagangan
1.
Pasar
Pasar Entho merupakan
pasar dengan pusat pasar berada di mulut gang.
2.
Pertokoan
3.
Warung
e)
Fasilitas Pendukung
1.
Gudang tembakau
2.
Gudang penyimpanan barang dengan toko
2.
Pengaruh Non Fisik
a.
Sosial
Kedatangan Cina di
Parakan memberikan pengaruh cukup besar.
b.
Ekonomi
Sistem perekonomian
di Parakan mendapatkan pengaruh Cina
c.
Budaya
2.1.2.3. Masa Penjajahan Belanda (1812 –
1942)
Tahun 1819 Kolonial Belanda membentuk Kadipaten Menoreh dibawah
kepemimpinan Tumenggung Ario Sumodilogo. Kadipaten Menoreh dibagi menjadi 4
distrik yaitu (1) Kadipaten Lempuyangan; (2) Kadipaten Jetis; (3) Kadipaten
Bandongan; dan (4) Kadipaten Menoreh. Pusat pemerintahan Kadipaten Menorah ada
di Kadipaten Jetis (salah satu wilayah di Parakan). Pusat pemerintahan tidak di
Menoreh karena Menoreh merupakan basis kekuatan Pangeran Diponegoro. Pada jaman
ini Parakan mendapat julukan sebagai Litle
China Town.
Tumenggung Ario Sumodilogo tewas akibat serangan
dari Pangeran Diponegoro. Pada hari Kamis titimongso 5 bulan Haji tahun Be ( 31
Juli 1825 ), Pangeran Diponegoro mengirimkan surat perintah kepada rakyat Kedu
yang berbunyi:
“Inilah soerat dari saja
Kangdjeng Goesti Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkoeboemi di Ngajogjakarta
kepada semua teman saja di Kedoe
Memberitahoekan bahwa negari
Kedoe sekarang telah saja minta
Semoea orang, ja’ni semoea orang
lelaki, perempoean, besar dan ketjil haroeslah mengetahoeinja
Adapoen orang jang telah
mengetahoei surat oendangan saja ini hendaknja dengan segera menjediakan
sendjata agar dapat mereboet negari dan membetoelkan agama Rosoel serta
mereboet toedjoeh iman
Djika ada jang berani dan tidak
maoe mempertjajai boenji soerat saja ini, pasti saja potong lehernja”
Surat tersebut ditanggapi seluruh
rakyat Kedu, hanya dua bulan setelah itu meletuslah peperangan besar di daerah
kedu, hal itu disebutkan dalam surat Jenderal De Kock ( 28 September 1825 )
kepada Residen Kedu Loe Clereg, yang menyatakan bahwa dalam peperangan itu Pos
Selatan Karesidenan Kedu, Kalijengking pada pagi hari diserbu pasukan jumlah
besar, dan menewaskan Letnan Hilmer.
Kyai Surodipo anak buah Raden
Tumenggung Mertowiryo dari desa Bendan, distrik Purbalingga, Kedu Selatan ikut
ambil bagian dalam peperangan itu. Kyai Surodipo menempati Pos di distrik Jetis
dan ditugaskan ikut membantu Pasukan Diponegoro untuk melawan Belanda di
Parakan pada masa Bupati Raden Sumodilogo ( Bupati Menoreh yang
berkedudukan di Parakan ). Sampai akhirnya Raden Sumodilogo tewas dibunuh oleh
Demangnya sendiri yang bernama Setjapati, seperti disebut dalam autobiografi
Pangeran Diponegoro yang berbunyi:
“....ing Kedoe wonte satoenggal -
Raden Soemodilogo – ing Parakan nagrenipoen- ingkang tan sedijo goeripo “ ,
“ Mapan ladjeng ing nginggahan
saking Ledhok Gowong Ika – Mas Toemenggoeng Ondoroko – ing Gowong Gadjah
Premodo “.
“ Ingkang dadijo pangridnjo - Mas
Ronggo Prawirojoedo – ing Parakan sampoen prapto – noeljo pinethuk ing judho “
.
“ Soemodilogo koetjiwo – mengokono
sampoen palestro – ingkang medjahi poenika – pademangiro prijonggo “.
“ Satjapati namaniro –
woes bedhah Parakan ika - .... “
Parakanpun
bedah, pasukan Belanda hancur oleh perlawanan pasukan Diponegoro bersama
tewasnya Raden Sumodilogo. Raden Tumengung Ario
Soemodilogo tewas oleh laskar Pangeran Diponegoro. Peristiwa
yang terkenal kala itu adalah pertempuran antara pasukan Tumenggung Soemodilogo
melawan pasukan Diponegoro yang dipimpin oleh Sentot Alibasjah dan Kyai Maja
dan diakhiri kekalahan pasukan Soemodilogo dengan dipenggalnya Mustaka
Soemodilogo oleh pemimpin pasukan Diponegoro, yaitu Sentot Alibasjah tapi ada
yang berkeyakinan bahwa eksekutornya adalah Kyai Maja. Pertempuran tersebut
merupakan bukti nyata politik Devide et Impera yang
biasa dipraktekkan Belanda untuk menguasai dan mencengkeram daerah jajahannya.
Sampai
sekarang alasan Tumenggung Soemodilogo memutuskan untuk melawan Pangeran
Diponegoro masih merupakan misteri karena menurut cerita rakyat yang beredar
diketahui bahwa Tumenggung Soemodilogo dan Pangeran Diponegoro masih memiliki
hubungan darah karena masih sama-sama darah biru Mataram-Menoreh.
Berdasarkan Surat Keputusan Komisaris Jenderal Hindia
Belanda, Nomor 11 Tanggal 7 April 1826, Raden Ngabehi Djojonegoro ditetapkan
sebagai Bupati Menoreh menggantikan Raden Tumenggung Ario Sumodilogo yang
berkedudukan di Parakan, dengan gelar Raden Tumenggung Aria Djojonegoro.
Setelah perang Diponegoro berakhir, dia kemudian memindahkan Ibu Kota ke
Kabupaten Temanggung. Kebijaksanaan pemindahan ini didasarkan pada beberapa
hal;
1)
Adanya pandangan masyarakat Jawa kebanyakan pada sat itu, bahwa Ibu Kota
yang pernah diserang dan diduduki musuh dianggap telah ternoda dan perlu
ditinggalkan.
2)
Distrik Menoreh sebuah daerah sebagai asal nama Kabupaten Menoreh, sudah
sejak lama digabung dengan Kabupaten Magelang, sehingga nama Kabupaten Menoreh
sudah tidak tepat lagi.
Mengingat hal tersebut, atas dasar usulan Raden
Tumenggung Aria Djojonegoro, lewat residen Kedu kepada Pemerintah Hindia Belanda
di Batavia, maka disetujui dan ditetapkan bahwa nama Kabupaten Menoreh berubah
menjadi Kabupaten Temanggung. Persetujuan ini berbentuk Resolusi Pemerintah
Hindia Belanda Nomor 4 Tanggal 10 Nopember 1834.
Pada masa penjajahan Belanda masalah perdagangan di Parakan diserahkan
kepada orang-orang China. Tembakau dan cengkih menjadi komoditas utama
perdagangan. Saking majunya perdagangan tembakau dan cengkih,penduduk di
Parakan membuat gudang di kapling rumah masing-masing.
Pemerintah Belanda membangun stasiun kereta api di Parakan untuk
mempermudah pengangkutan barang-barang komoditas. Secara fisik, bangsa Belanda
memberikan beberapa pengaruh terhadap perkembangan Kota Parakan, antara lain.
1. Perumahan
Budaya belanda sangat berpengaruh terhadap arsitektur bangunan terutama
rumah-rumah disekitar stasiun. Disana banyak rumah berasitektur belanda (rumah
yang menghadap stasiun kereta api dan beberapa rumah di gang dalam kawasan
pecinan). Namun demikian, rumah yang berasitektur Cina relatif tidak banyak
berubah
2. Fasilitas
Umum
a. Fasilitas
peribadatan
1)
Klenteng
Sebelum pendudukan Belanda, klenteng berada di tengah pemukiman mereka
(menghadap utara) yang dibangun pada tahun 1872 dengan kondisi sederhana. Di
dalam kompleks klenteng itu terdapat mata air yang sangat jernih. Mata air
tersebut ada di tepi sungai Leri. Dekat dengan mata air terdapat rumah duka
sebagai tempat di semayamkannya jenazah etnis Cina sebelum dikremasi /
dimakamkan.
Tidak ada catatan sejarah yang lengkap tentang pemugaran klenteng
setelah dibangun tahun 1827. Berita pemugaran klenteng pertama kali dipugar
pada tahun 1852,kemudian 1882, dan pada tahun 1940.
2)
Masjid
Tempat peribadatan berupa masjid cukup besar di sebelah barat kawasan
sebagai tempat beribadah bagi umat Islam. Masjid selalu menghadap ke timur,
sehingga orang-orang cina mempunyai pendirian jika klenteng secara ambo
imajiner dengan arah menghadapnya masjid maka konflik dengan orang Islam tidak
akan pernah terjadi. Jika pada awalnya klenteng menghadap ke utara, maka
klenteng yang baru dipindah ke sebelah timur. Di tepi jalan Suaji menghadap ke
barat.
3)
Gereja
Di tengah hunian berdiri gereja protestan bagi pemeluk agama tersebut
yang dulu merupakan pngaruh Belanda.
b. Fasilitas
Pendidikan
Di lingkungan klenteng baru terdapat fasilitas pendidikan yang lengkap
mulai dari Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan
Sekolah Menengah Atas.
c. Fasilitas
Kontak Sosial
Di era ini belum ada fasilitas kontak sosial yang berupa gedung.
d. Fasilitas
Perdagangan
1)
Pasar
Di daerah sekitar jalan Dipongoro terdapat sebuah gang yang menjadi
sampel kegiatan jual beli, yang dikenal dengan pasar Entho. Pasar ini ramai
dengan transaksi jual beli di pagi hari dan akan surut ketika siang hari.
Pedagang di pasai Entho menjual berbagai macam makananan tradisional seperti
seperti gethuk, gathot / tiwul dan sebagainya. Selain itu, juga menyediakan
kebutuhan sehari-hari seperti sayur-masyur, sembakau dan sebagainya. Di pasar
ini penjual membawa sendiri barang dagangannya.
2)
Toko (Komplek
pertokoan)
Di sepanjang jalan Diponegoro dan jalan Brigjen Katamso berderet toko
dan ruko. Daerah ini merupakan pusat perdagangan di Parakan. Di daerah ini
banyak bangunan rumah yang beralih fungsi menjadi ruko atau toko.
3)
Warung
Pada masa ini, warung berada di dalam rumah mereka. Selain itu, warung
juga tersebar di pasar Entho.
3. Fasilitas
Penunjang
a. Gudang
Tembakau
Tembakau mempunyai nilai jual yang cukup tinggi, Belanda menjadikan
Tembakau sebagai incaran komoditas mereka. Dalam sistem perdagangan tembakau
ini, pemerintah belanda menyerahkan kepada orang Cina. Ramainya perdagangan
tembakau menjadikan sebagian besar tanah tempat tinggal juga mempunyai fungsi
sebagai gudang tembakau.
b. Gudang
penyimpanan barang-barang dagangan toko
Gudang
ini untuk menyimpan barang yang dijual di toko mereka,misalnya: took alat
/perlengkapan bangunan, took besi, toko peralatan rumah tangga,toko
kelontong/sembakau dan sebagainya.
Transportasi
di daerah gudang sangat ramai sehingga sering terjadi kemacetan lalu lintas saat
musim tembakau.
2.1.2.4. Masa Penjajahan Jepand dan Perang
Kemerdekaan (1942 – 1945)
Nama Kyai Subukhi atau Kyai Subchi tidak dapat dipisahkan dari
perjuangan masyarakat Parakan dalam perang kemerdekaan. Pada tahun 1941 Kyai
Subkhi meminta para santri dan pemuda desa untuk mengadakan persiapan perang.
Dalam pertemuan tersebut dibentuk pasukan Hizbullah-Sabilillah di bawah
pimpinan Kyai Subchi.
Pasukan yang dibentuk mengalami kendala dalam hal
persenjataan. Senjata yang dimiliki oleh santri dan pemuda desa adalah pedang,
golok, klewang, keris, tombak, dan sebagainya. Senjata inipun terbatas.
Akhirnya Kyai Noer mengusulkan agar pasukan tersebut diprsejatai dengan cucukan
(bambu yang diruncingkan ujungnya) –kemudian dikenal dengan bambu runcing-
dengan alasan bambu mudah diperoleh. Selain itu, luka yang
diakibatkan oleh tusukan cucukan juga lebih parah akibatnya sehingga sulit diobati.
Usul ini
akhirnya diterima secara mufakat. Hanya saja, menurut Kiai Subchi masih ada
kendala, yakni bagaimana membuat rakyat bersemangat dan yakin jika hanya dengan
bersenjatakan cucukan, bisa menghadapi musuh dan meraih kemenangan.
Maka Kiai
Subchi pun mengumpulkan pasukan lalu memanjatkan doá agar Allaah Subhanahu
WaTaála memberikan kekuatan istimewa kepada pasukan cucukan ini. Doá itu
berbunyi : “Laa Tudrikhuhul Absar Wahuwa Tudhrikuhul Absar Wahuwa Latiful
Kabir.”
Pada
tahun 1942 Jepang pun datang dan pecah perang besar antara Belanda melawan
Jepang. Pasukan Jepang pernah ingin menguasai Parakan, namun dihadang oleh
Pasukan Bambu Runcing Kiai Subchi. Dan akhirnya Jepang pun mengurungkan niatnya
ke Parakan dan meneruskan geraknya ke Wonosobo. Kabar keberhasilan pasukan
cucukan Kiai Subchi menghalau pasukan Jepang ini menjadi buah bibir pasukan
lainnya.
2.1.2.5. Paska Perang Kemerdekaan (1945 –
sekarang)
Dalam masa-masa mempertahankan proklamasi kemerdekaan banyak hal
yang perlu dicatat. Meskipun dalam kenyataan Jepang telah menyerah, tetapi
pasukan-pasukanya masih banyak bercokol di berbagai tempat di wilayah Negara
kita. Keengganan mereka untuk segera angkat kaki dari bumi Indonesia
minimbulkan kebencian yang berlebihan dihati rakyat. Maka timbullah
insiden-insiden kecil yang banyak membawa korban. Yakni dengan gugurnya
pemuda-pemuda Indonesia.
Salah satu contoh
gerakan massa untuk mempertahankan kemerdekaan adalah di Kecamatan Parakan.
Perlawanan dilakukan oleh para Ulama' dan pemuda-pemuda Muslim yang tergabung
dalam organisasi Barisan Muslim Temanggung (BMT). Mereka mengorbankan api
perjuangan melawan penjajah dengan senjata "Bambu Rincing".
Setelah
Proklamasi Kemerdekaan, Magelang masih diduduki Jepang. Pasukan Hizbullah dari
daerah Parakan dan daerah Kedu bersatu untuk mengusir Jepang dari Magelang.
Dalam pertempuran tersebut Jepang terlihat sangat ketakutan menghadapi
pasukan cucukan yang di pimpin Kiai Subchi. Hal ini menaikan pamor senjata
cucukan atau Bambu Runcing.
Sejak
itulah, seiring naiknya pamor cucukan, maka sosok Kiai Subchi pun menjadi
terkenal. Apalagi pasukannya juga berhasil memukul mundur pasukan Gurkha dari
Magelang hingga ke Semarang. Para pejuang kemerdekaan pun berduyun-duyun datang
ke Parakan, lengkap dengan bambu runcingnya, untuk menemui Kiai Subchi dan
meminta doá nya.
Para
pejuang itu datang dari Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta sampai
kawasan Banyuwangi, dengan naik kereta api yang penuh sesak dengan bambu
runcing. Sejak saat itu bambu runcing telah menjadi senjata Jihad Fii
Sabilillah yang terkenal keampuhannya. Bambu Runcing yang dipakai Kiai
Subchi sendiri menjadi legenda. Bahkan diminta oleh Museum ABRI untuk dijadikan
koleksi bersejarahnya.
Menurut catatan sekitar 10.000 tiap harinya selama
sekitar 1 tahun karena yang datang ke Parakan pada waktu itu pemuda-pemuda
dalam Pulau Jawa - Madura, dan banyak juga dari Luar Jawa. Pada waktu itu kota
Parakan : Pagi, Siang, Malam seperti Pasar Malam, bahkan seperti di Mekah,
karena antrinya panjang seperti para Jama'ah Haji di waktu Thowaf. Begitu luar
biasanya cerita Bambu Runcing tersebut, sampai di Parakan diberi perlakuan
khusus oleh Djawatan Kereta Api memberikan kereta luar biasa (KLB) untuk
memfasilitasi orang-orang yang datang ke Parakan.